Follow Me on Twitter

Selasa, 04 Oktober 2011

Masih Saktikah Pancasila Kita?

Setiap tanggal 1 Oktober, Presiden Indonesia memimpin upacara Hari Kesaktian Pancasila. Upacara ini selalu diadakan setiap tahun di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur ini bertujuan untuk meningkatkan rasa semangat dan kebersamaan. Kebulatan tekad untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber kekuatan, menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan, menegakkan  kebenaran dan keadilan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (1)

Namun, apakah Pancasila itu?

Ketika kita melihat di dalam kantor instansi pemerintahan baik di pusat maupun pada jajaran di bawahnya, ruang kerja wakil rakyat, maupun ruang kerja para penegak hukum, disana terpampang dengan jelas lambang negara Garuda Pancasila, dan biasanya diapit dengan gambar pemimpin negara ini beserta wakilnya. Gambar garuda ini tentulah memiliki arti dan filosofi secara mendalam, mulai dari jumlah bulu-bulunya yang mencerminkan tanggal kemerdekaan Indonesia, spanduk bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai falsafah yang mempersatukan negara ini yang senantiasa digenggam erat oleh sang garuda, sampai dengan bentuk perisai lima bidang yang tergantung di dadanya. Mewakili lima sila yang disusun oleh pendahulu bangsa ini, yang dalam hal ini merupakan lima ideologi bangsa.

Dalam berbagai upacara yang dilaksanakan untuk memperingati berbagai event yang dianggap memiliki nilai penting, baik berskala nasional maupun kedaerahan, Pancasila selalu dibacakan dalam prosesi upacara tersebut. Bahkan dalam pelaksanaannya, pembacaan Pancasila selalu disandingkan dengan pembacaan bagian dari konstitusi negara kita, Pembukaan UUD 1945. Bisa dibayangkan, alangkah luhurnya nama Pancasila bagi rakyat Indonesia. Tak heran jika kita menilik catatan sejarah, di masa Orde Baru Pancasila menjadi satu-satunya ideologi yang diakui bangsa, dan semua partai politik yang ada haruslah memiliki simbol yang tercantum dalam Pancasila.

Dan jika kita kembali menilik masa Orde Baru, ada sebuah program pemerintah yang dilaksanakan setiap kali ada penerimaan siswa baru, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga bagi para calon pegawai negeri. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagaimana yang telah ditentukan dalam TAP MPR No.II/1978. Dan tujuan utama dari penataran P4 ini adalah menjadikan warga Indonesia yang Pancasilais dan bertanggung jawab.

Dan sudahkah rakyat Indonesia menjadi pribadi Pancasilais?

Ketika sebuah pribadi mampu memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan sehari-hari, pribadi itu layak disebut pribadi Pancasilais. Ketika terjadi bom meletus akibat kesenjangan antar umat beragama, atau ketika terjadi aksi radikal yang berencana mengganggu stabilitas sosial politik di Indonesia, hal tersebut sangatlah tidak Pancasilais. Hal ini menyebabkan beberapa pakar, termasuk diantaranya adalah Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita kembali mengamalkan poin-poin pancasila. "Ketahui proses sejarahnya untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Juga bagaimana mengaktualisasikannya dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ungkap SBY. (2)

Usulan tersebut pun hanyalah menjadi sebuah wacana, ketika semakin tertutupi oleh banyaknya berita lain. Sebut saja kasus tawuran pelajar, radikalisme berbasis agama, dan paling santer akhir-akhir ini adalah isu reshuffle kabinet. Pengalihan isu, biasa dilakukan demi menutup mata dan telinga rakyat atas berita yang “kurang pantas didengar rakyat”.
 
“Tidak semudah membalik telapak tangan”, suatu ungkapan yang biasa dilontarkan petinggi negeri ini jika pembicaraan sudah menyerempet pada bagaimana cara mengimplementasikan wacana ini sehingga suatu langkah konkrit yang tepat dapat diwujudkan. Ketidakyakinan, pesimistis, dan ketidakpercayaan telah merasuk ke dalam sumsum tulang bangsa ini, sehingga mereka merasa bingung bagaimana langkah awal untuk mengimplementasikan usulan ini. Ironisnya, hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila hanya dikorelasikan dengan isu-isu radikalisme berbasis agama, seperti NII atau peledakan rumah ibadah, akan tetapi dalam kenyataannya ketika negara ini diterpa dengan isu-isu korupsi atau kebobrokan pemerintahan, semangat pembaharuan Pancasila seakan luntur tanpa bekas. Ironis memang, hal-hal yang secara struktural dapat menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan masyarakat telah berpindah dari semula sebagai extraordinary crime menjadi dapat ordinary crime atau dalam kata lain dapat “dimaklumi” oleh masyarakat.

Ruang sidang yang besar nan megah, yang ketika membahas tentang kesejahteraan rakyat hanya diisi oleh segelintir anggota dewan, akan tetapi ketika membahas tentang kenaikan gaji dan bermacam tunjangan barulah dipenuhi oleh peserta sidang. Ketika terjadi rapat menetapkan besarnya anggaran untuk kesejahteraan masyarakat, hujan interupsi pun terjadi. Bukan interupsi tentang besarnya anggaran program kesejahteraan tersebut, melainkan interupsi tentang banyaknya nominal yang bisa ditilep dari total anggaran tersebut. Hal tersebut sangatlah kontradiktif dengan sila kelima dari Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang seharusnya ditafsirkan untuk lebih memperhatikan rakyat miskin, konstituen mereka, bukan sebaliknya malah memperjuangkan kepentingan satu golongan.

Ruang peradilan yang seharusnya digunakan untuk memutus perkara dengan bijak dan sesuai hati nurani, akan tetapi kini berubah menjadi ruang transaksi mafia peradilan. Kasus-kasus hukum yang seharusnya diputus hukuman berat, malah diperringan seakan hal itu bukanlah suatu dosa besar. Tidakkah para penegak hukum itu mengingat pasal satu dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Mungkin mereka mengira bahwa Tuhan tidak mengetahui apa yang telah mereka putuskan dalam persidangan. Atau Tuhan telah mereka anggap buta, bisu, dan tuli sehingga mereka dengan seenaknya (atau seenak uang yang mengalir di dalam transaksi gelap mereka) memutuskan suatu perkara diluar akal sehat.

Suatu pengkhianatan terhadap pendahulu bangsa ini ketika asas-asas Pancasila sudah tidak diamalkan tetapi hanyalah menjadi penghias dari ruang rapat, tergantung dengan gagah di depan ruangan beserta dengan foto pimpinan negara, tanpa ada pengamalan terhadap kelima sila tersebut. Oleh sebab itu, tidak heran banyak terjadi kebuntuan dalam perumusan agenda pembaharuan semangat Pancasila didalam kehidupan berbangsa bernegara, karena pada pengamalannya pun Pancasila hanya dianggap sebagai simbol negara, hanya simbol saja.

Lantas, masih saktikah Pancasila di mata rakyat Indonesia? Hanya Tuhan yang tahu.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

SUMBER GAMBAR :
Monumen Pancasila Sakti – www.google.com
SUMBER :
(1)   http://nasional.kompas.com/read/2011/10/01/10044257/Kebersamaan.adalah.Makna.Kesaktian.Pancasila
(2)   http://www.menkokesra.go.id/content/presiden-jangan-lagi-memperdebatkan-pancasila



IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar