Follow Me on Twitter

Sabtu, 26 Maret 2011

Presiden independen dan implikasi pada kinerjanya, dibanding dari kalangan partai politik

akhir akhir ini banyak isu yang beredar tentang presiden dari kalangan independen, dan pro kontranya. memang, selama ini presiden hanya boleh diusung oleh partai politik. entah satu, dua, atau beberapa partai berkoalisi untuk mengusung sepasang capres-cawapres. memang, konstitusi negara kita, undang undang dasar 1945, mengatur tentang hal tersebut, yaitu tentang pemilihan presiden harus dari partai politik. hal tersebut tertera pada pasal 6A ayat 2 (amandemen ketiga) yang berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."  namun, beberapa kalangan menilai hal tersebut agak mengekang demokrasi, karena tidak memperbolehkan calon dari golongan independen (baca : non-partai) untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres.


mahkamah konstitusi termasuk salah satu pihak yang menolak pencalonan presiden dari kalangan independen. hal tersebut berdasarkan pada UUD 1945 pasal 6A yang telah dipaparkan diatas. ketua mahkamah konstitusi, Mahfud MD menyatakan, “Tidak boleh ada yang independen, karena UUD mengatakan calon presiden dan calon wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Tidak boleh dijadikan alternatif sebelum amendemen dilakukan oleh MPR”.

sebenarnya, dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum tata negara, ia menyatakan bahwa dalam teori ilmu konstitusi, pencalonan secara independen ataupun melalui partai politik diperbolehkan. akan tetapi, secara pribadi dirinya lebih sepakat apabila pencalonan itu tetap melalui partai politik atau gabungan partai politik.

“untuk menyehatkan partai politik ke depan saya lebih setuju lewat partai politik. agar partai politik itu menjadi alat rekrutmen yang sehat. kita sekarang sedang tidak suka karena kondisi sekarang untuk ke depan parpol ini harus sehat dan tidak boleh parpol dikonflikkan,” ujarnya lagi (1).


beberapa pihak lain menyetujui adanya amandemen kelima yang mengatur tentang sistem pemilihan presiden. dewan perwakilan daerah, sebagai pihak penggagas amandemen kelima UUD 1945, jelas mendukung calon presiden independen. perwakilan DPD dari provinsi maluku, John Pieris, berharap usulan amandemen kelima UUD 1945 disetujui oleh MPR.

john menjelaskan, calon presiden independen bukan bertujuan menghalangi partai politik berkiprah dalam pemilu. bukan pula untuk membenturkan calon presiden yang merupakan anggota partai politik dengan calon presiden yang bukan anggota partai politik. menurutnya, kader-kader terbaik partai politik pun tetap bisa maju dalam kancah pemilu presiden dengan jalur pencalonan perseorangan. usulan calon presiden perseorangan tersebut juga dalam rangka demi memperkuat sistem ketatanegaraan indonesia di masa mendatang, sebab dalam usulannya adalah dimungkinkan calon presiden perseorangan dengan syarat dukungan yang akan diatur dalam undang-undang.


nah, dari semua itu, mungkin sebaiknya amandemen kelima segera disahkan oleh MPR. hal ini terkait dengan asas demokrasi yang dianut oleh indonesia. padahal sebenarnya amandemen kelima itu juga sesuai dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."  jadi, baik dari kalangan partai politik ataupun dari kalangan independen berhak untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. tentunya tidak semua orang bisa mencalonkan diri. harus ada sejumlah prosedur tertentu yang mengatur pencalonan dari kalangan independen, misalnya : mendapat dukungan dari sekian orang, sebagaimana tidak semua partai berhak mencalonkan kadernya, harus memenuhi batas minimal tertentu (presidential threshold, dalam hal ini minimal 20% dari total pemilih).

sebagai seorang mahasiswa, jika saya boleh beropini, saya cenderung setuju akan pengesahan amandemen kelima oleh MPR. sebagaimana diketahui, dalam menjalankan pemerintahannya, presiden (yang sekarang masih diusung oleh partai politik) masih belum bisa melaksanakannya sebagai eksekutif secara optimal karena masih "dibayang-bayangi" oleh pengaruh partai politik yang mengusungnya. dan banyak pula masalah yang terjadi di dpr, yang malah berimplikasi pada kinerja badan eksekutif (padahal sebetulnya masalah yang terjadi di departemen itu seharusnya tidak berimbas pada badan eksekutif). sebagai contoh, ketika terjadi rapat paripurna dpr tentang masalah hak angket, masalah yang seharusnya adalah masalah di kalangan eksekutif (terutama ketika silang pendapat antar parpol yang juga adalah anggota koalisi) hal tsb malah menghancurkan stabilitas konstelasi politik di badan eksekutif. kabinet pun langsung didera isu reshuffle (yang ternyata hanyalah kabar burung yang dihembuskan salah satu fraksi partai politik). hal tersebut adalah salah satu contoh ketidakstabilan yang bisa ditimbulkan.

seperti kita tahu, indonesia adalah negara presidensial, tapi mengapa terjadi penolakan dari dpr terhadap keputusan presiden mengangkat agus martowardojo untuk menjadi menteri keuangan menggantikan sri mulyani (3), padahal pembentukan kabinet itu adalah hak prerogatif presiden, seperti yang tercantum pada UUD 1945 pasal 17 ayat 1 dan 2 yang isinya "(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden."  jadi seharusnya dpr tidak boleh meng-intervensi kebijakan presiden tentang kabinetnya, apalagi "memanas2-manasi" presiden agar mengadakan reshuffle. hal ini (intervensi legislatif terhadap lingkup eksekutif) kok rasanya seperti pemerintahan parlementer bukannya presidensial.

dalam pendapat saya, jika presiden itu dari kalangan independen atau non-partai, akan bisa maminimalisir intervensi parpol ke dalam badan eksekutif. mungkin mereka merasa "menuntun" presiden ke kursi pemerintahan melalui mekanisme pencalonan oleh parpol, tapi mereka lupa, sebenarnya RAKYATLAH YANG MEMILIH MEREKA, parpol hanya "mengantarkan" saja. dengan dari kalangan independen pula, kebijakan pemerintah diharapkan akan lebih pro-rakyat ketimbang pro-parpol.

mungkin pendapat saya akan menimbulkan kontroversi. well, saya hanya mengemukakan pendapat saya saja sebagai mahasiswa yang harus berperan serta sebagai social control. lagipula, kebebasan berpendapat sudah dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 amandemen kedua yaitu "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."  



sumber :






IQBAL AKHMAD GHUFRON

Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar