PENGKADERAN. Apakah pengkaderan itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “kader” berarti : (1) perwira atau bintara dl ketentaraan; (2) orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting di pemerintahan, partai, dsb. Jika dalam hal ini kita ambil definisi kedua, maka, istilah “pengkaderan” bisa diartikan sebagai : sebuah proses yang menghasilkan orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting di pemerintahan, partai, dsb.
Akan tetapi, di lingkup ITS, istilah “pengkaderan” memiliki definisi : sebuah proses yang menjadikan seorang mahasiswa menjadi “berhak” untuk menyandang titel sebagai seorang anggota himpunan. Dalam hal ini di jurusan Teknik Informatika ITS, pengkaderan yang dimaksud akan menjadikan seorang memiliki embel-embel C-xx di belakang namanya. Dengan demikian, setelah mengikuti serangkaian alur pengkaderan, diharapkan para mahasiswa yang telah selesai mengikutinya itu memiliki sejumlah kompetensi dibandingkan rekan-rekannya yang tidak mengikuti serangkaian alur pengkaderan tersebut.
Terlepas dari itu semua, seorang anggota himpunan yang dijadikan tolok ukur kesuksesan pengkaderan, seharusnya bisa berbuat lebih banyak demi kemajuan bangsa. Sebagai seorang yang telah dibekali dengan sejumlah kompetensi hasil dari rangkaian alur pengkaderan, idealnya ia adalah mahasiswa terpilih yang mampu berjuang demi bangsa dan negara.
Lantas, apakah kriteria mahasiswa ideal tersebut?
Sebagian besar dari kita, sebagian besar dari mahasiswa Teknik Informatika, sebagian besar dari mahasiswa ITS, tentunya telah mengikuti serangkaian acara pelatihan, yang biasa disebut Pra-TD. Dengan mengesampingkan beberapa orang yang tidak ikut kegiatan tersebut, seharusnya semua mahasiswa tahu, bagaimanakah peran dan fungsi mahasiswa (PFM) yang sesungguhnya. Di dalam Pra-TD dijelaskan bahwa, selain belajar sebagai tugas utama mahasiswa, peran dan fungsi mahasiswa adalah AGENT OF CHANGE, MORAL FORCE, SOCIAL CONTROL, dan IRON STOCK. Agent of change berarti mahasiswa sebagai agen perubahan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik, moral force berarti mahasiswa sebagai kendali moral terhadap masyarakat dan mampu bertindak lebih baik dari yang lainnya karena memiliki latar belakang sebagai kaum intelektual, social control berarti mahasiswa sebagai pengontrol sosial kemasyarakatan dan memberi kritik sosial politik atas berbagai kebijakan pemerintah, dan iron stock berarti mahasiswa sebagai generasi muda bangsa yang patut mempersiapkan diri untuk menggerakkan bangsa di masa yang akan datang.
Lalu, adakah korelasi antara pengkaderan dan peran dan fungsi mahasiswa? Dan bagaimanakah realita yang terjadi?
Jika ditanyakan adakah korelasinya, IDEALNYA tentu saja hal tersebut sangat berhubungan. Mengapa demikian? Sebagai seorang (atau sekelompok orang) yang dianggap telah memiliki kompetensi lebih sebagai buah dari serangkaian alur pengkaderan yang telah mereka lalui, mereka tentunya memiliki kapabilitas yang lebih demi memperjuangkan kehidupan berbangsa bernegara menuju taraf yang lebih baik. Akan tetapi jika kita melihat realitanya, maka, maaf maaf kata, saya tidak bisa berkomentar lebih banyak dari ini. Sebagai sebuah kampus yang dengan bangga mentahbiskan diri sebagai KAMPUS PERJUANGAN, bisa kita bandingkan dengan kampus-kampus lain yang tidak mentitelkan dirinya sebagai kampus perjuangan atau yang setipe dengan itu, menurut pandangan saya sebagai orang awam, implementasi PFM dari kampus kita bisa dikatakan berada di belakang mereka. Ketika kampus-kampus lain berdemo meminta DPR mengurungkan niatnya untuk membangun gedung baru, ketika kampus-kampus lain berdemo menuntut penyelesaian kasus mafia pajak, kita malah berdemo praktikum di lab. Bukannya saya mendiskreditkan padatnya rangkaian kegiatan akademik di kampus tercinta ini, saya akui kegiatan akademik itu amatlah penting demi eksistensi sebagai seorang mahasiswa, tapi apakah kita tak mampu bersaing dengan kampus-kampus lainnya terkait dengan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa? Mana harga diri sebagai KAMPUS PERJUANGAN, yang idealnya selalu berada di deretan terdepan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat? Maaf sekali lagi, bukannya saya menggeneralisir keadaan. Mungkin ada segelintir kecil yang masih mau untuk melaksanakan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa, tapi karena ketiadaan fasilitas yang bisa mewadahi adanya kegiatan tersebut, hal itu menjadi tidak terkoordinir dan tidak mencuat ke permukaan.
Lantas, bagaimanakah cara mengimplementasikan peran dan fungsi sebagai seorang mahasiswa?
Pengimplementasiannya, tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Pada kenyataannya, saya mengambil contoh di angkatan saya, ada sekelompok mahasiswa yang seringkali berdiskusi terkait tentang dinamika sosial kemasyarakatan yang sedang mencuat. Kami seringkali mencari solusinya, walaupun tidak banyak solusi yang berhasil ditemukan yang relevan dengan kondisi riil di lapangan, tapi itu termasuk salah satu hasil pikiran sebagai seorang (atau sekelompok) mahasiswa. Sebagai social control, ketika terjadi suatu gejolak sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai contoh ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia beberapa waktu lalu, dan terjadinya kelangkaan minyak di beberapa tempat, kami mencoba mendiskusikan hal-hal tersebut. Lantas, bagaimanakah cara mengimplementasikan ide ide yang berhasil tertuang pada diskusi tersebut? Kami mencoba memanfaatkan kekuatan media. Untuk apa dibuat media massa, kalau bukan untuk sebagai pengontrol kebijakan pemerintah. Maka dari itu kami mencoba berinisiatif mengirimkannya ke bermacam media, baik berupa media cetak maupun elektronik. Harapan kami adalah, sekiranya KAMPUS PERJUANGAN ini, atau jika kita ambil ruang lingkup yang lebih kecil, himpunan yang melingkupi kegiatan mahasiswanya di lingkungan jurusan tersebut bisa mewadahi aspirasi kami. Entah adanya diskusi-diskusi ringan terkait pembahasan gejala sosial kemasyarakatan yang sedang terjadi ataupun beberapa acara-acara lain yang mampu menumbuhkan sikap berfikir kritis bagi para mahasiswanya. Jika saya (sebagai entitas luar dari himpunan itu sendiri) boleh menilai, selama ini belum ada langkah konkrit terkait gejala tersebut. Padahal, jika saya boleh menyarankan, dengan adanya bidang minat dan bakat, tentunya bisa dibuat suatu kegiatan yang bisa mewadahi timbulnya ide-ide dari mahasiswa itu sendiri, terutama terkait dengan pembahasan gejala sosial kemasyarakatan.
Sebelum dan sesudahnya, saya menegaskan bahwa tulisan ini hanya bersifat kritik yang membangun, bukannya memiliki niatan untuk mendiskreditkan salah satu atau beberapa golongan. Saya ingin mengutip salah satu ayat yang tercantum dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.