Follow Me on Twitter

Kamis, 29 Desember 2011

MENGUAK KORUPSI : KASUS CENTURY DAN MAFIA ANGGARAN


Melangkah pada penghujung tahun 2011, kita disodori dengan beberapa berita yang ironisnya justru tidak mengenakkan. Belum hilang gaung tragedi Freeport, Mesuji, dan Bima, kita dihadapkan kembali dengan hal lain yang tidak kalah menghebohkan. Seiring dengan laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang hasil audit forensik kasus century, skandal yang bermula pada akhir 2008 itu pun kembali mencuat. 

Bermula pada kegagalan kliring karena terganggunya likuiditas akibat penarikan dana secara berlebihan oleh nasabah, Bank Century mengajukan permintaan pendanaan jangka pendek ke Bank Indonesia sejumlah Rp 1 triliun, yang disetujui oleh Bank Indonesia sebesar Rp 600 miliar. Bank Indonesia pun mengumumkan bahwa Bank Century diambil alih oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS pun akhirnya melakukan empat kali penyuntikan modal kepada Bank Century dengan total sebesar Rp 6.7 triliun yang berlangsung selama 8 bulan hingga Juli 2009 (1). Permasalahannya adalah, pada internal Bank Century sendiri pun terjadi banyak transaksi illegal, diantaranya adalah penggelapan surat berharga US Treasury Strips Bank Century, pencairan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit, pencairan margin deposit transaksi Letter of Credit (L/C) yang dilakukan sebelum jatuh tempo, juga pemberian cashback pada pihak ketiga (2).

Namun, hal tersebut tidak berhenti hanya sampai disini. Temuan yang diperoleh oleh BPK menunjukkan bahwa aliran dana kasus Century mengalir ke rekening beberapa nasabah secara tidak wajar. Salah satunya adalah mengalir ke kas salah satu media yang memiliki afiliasi dalam pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres 2004 lalu. Temuan lainnya menunjukkan bahwa terjadi transaksi valuta asing fiktif yang melibatkan salah satu anggota DPR dari partai penguasa, dan juga merupakan kerabat dekat istana (3). 

Beralih ke kasus lain yang juga bersinggungan dengan kekuasaan, tidak sedikit pula terjadi suatu penyimpangan dalam pengalokasian anggaran. Praktik mafia anggaran tersebut telah dipaparkan secara gamblang oleh seorang anggota badan anggaran DPR RI pada salah satu acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta. Menurutnya, ada dua modus utama penilepan uang rakyat yang dilakukan oleh Badan Anggaran DPR RI. Selain melakukan mark up anggaran suatu proyek, modus lainnya adalah dengan mengurangi kualitas barang yang dibutuhkan dalam proyek tersebut. Ketika ditanya oleh presenter tentang “Siapakah sebetulnya penjahat anggaran tersebut? apakah anggota Badan Anggaran, pimpinan DPR, ataukah Menteri Keuangan?” dengan tegas dijawab “Semuanya!” (4)

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, pada kenyataannya praktik mafia anggaran tidak hanya terjadi di tingkat nasional, juga tidak hanya di tingkat lagislatif. Posko Pengaduan Mafia Anggaran melaporkan bahwa puluhan pejabat daerah dari seluruh Indonesia telah melaporkan terjadinya praktik mafia anggaran beserta buktinya. Ironisnya, pemotongan anggaran yang dilakukan tidak dalam nominal kecil, melainkan mencapai 40% dari total anggaran yang disediakan (5). 

Sementara itu, kenyataan yang terjadi adalah tuntutan biaya politik yang tinggi ditengarai akan semakin menggencarkan praktik mafia anggaran. ara elite politik akan dituntut untuk mengumpulkan uang panas selama menjabat, demi mengembalikan modal yang terpakai sebagai biaya pemenangan dirinya. Salah satu indikatornya adalah kewenangan badan anggaran DPR RI yang terlalu besar. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah dengan penekanan biaya politik yang dibutuhkan, dengan membatasi belanja kampanye dan memperbaiki sistem subsidi parpol.

Satu faktor yang dipertanyakan dalam hal ini, mampukah penegak hukum kita menegakkan hukum tanpa pandang bulu? Dalam penyelesaian kasus besar yang melibatkan kepentingan para elite politik, penegakan hukum terkesan seperti pisau tumpul yang tidak bisa memotong degnan benar keatas, tetapi hanya bisa memotong dengan tajam ke arah bawah, ke arah masyarakat kecil. Kita masyarakat kecil hanya bisa berharap terwujudnya penegakan hukum di Indonesia yang tidak pandang bulu. Penegakan hukum yang independen, tidak memiliki kepentingan politis apapun dan tidak membawa kepentingan politis pihak manapun. Semoga.




IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktorat Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM Transformasi ITS 2011/2012

Jumat, 23 Desember 2011

ANTARA BAKAR DIRI DAN KEKECEWAAN BANGSA


7 Desember 2011, terjadi sebuah peristiwa menggemparkan di depan Istana Negara Republik Indonesia. Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa semester akhir Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta nekat mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya sendiri. Ironis memang, ketika seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengejutkan seperti ini.
 
Dikenal sebagai seorang Koordinator Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi), Sondang merupakan seorang yang kritis terhadap kehidupan sosial politik di Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang mahasiswa Fakultas Hukum, ia juga dikenal sebagai sosok yang kerap terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi pelanggaran HAM. Bukan tidak mungkin, ini adalah salah satu perjuangannya dalam mengkritisi kinerja pemerintah yang masih belum maksimal. Namun tetap saja, aksi heroik ini pun menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan.

Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri secara khusus berkomentar tentang kasus ini. Ia menyoroti terlalu besarnya pengorbanan yang harus dilakukan untuk sekedar mengingatkan para pemangku kekuasaan tentang besarnya penderitaan rakyat. "Merinding rasanya bulu kuduk saya sebagai seorang ibu melihat derita anak negeri ini," kata Megawati saat memberikan sambutan pada Rakernas I PDIP di Bandung, Senin. "Sondang telah pergi, tapi pesannya terasa keras menampar telinga kita. Kita tidak membutuhkan teguran keras lainnya, hanya untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini," katanya (1).  

Namun, ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul memiliki pendapat berbeda. "Saya bangga pada Sondang Hutagalung. Namun rakyat tidak akan terpancing dengan isu seperti itu. Orang sudah mati diarak kemana-mana," ujar Ruhut, Minggu (18/12/2011) (2). Menurutnya, melakukan suatu aksi dengan tujuan mulia, tetapi dengan cara yang kurang sesuai, hasilnya pun tidak akan bagus.

Diantara pelbagai pro dan kontra menyikapi kejadian ini, ada pesan moral yang ingin Sondang tunjukkan kepada kita. Kulminasi dari kekecewaan dan keputus-asaannya terhadap kinerja pemerintahlah yang memicu terjadinya peristiwa ini. Memang, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang biasa untuk membuka mata, telinga, dan hati  para pemangku kekuasaan. Ia sampai pada kesimpulan, satu-satunya pilihan yang diharapkan bisa menyadarkan para elite politik adalah dengan sebuah tragedi kematian yang dramatis. Terbersit sedikit harapan, bahwa aksi bakar diri sedikit banyak akan menimbulkan efek kejut yang bisa merubah kebobrokan bangsa. Meminjam pernyataan Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat, ”Politics, like religion, hold up the torches of martyrdom to the reformers of error”.

Publik tersentak. Ya, tersentak. Namun hanya sesaat. Bangsa ini memang rabun. Dalam kondisi yang serba abu-abu, Sondang bisa berperan menjadi siapa saja. Dengan efek kejut peristiwa ini, ia termasuk sebagai seorang martir perubahan. Ia bisa menjadi pejuang HAM karena peristiwa ini berdekatan dengan hari HAM Internasional. Ia juga termasuk pejuang anti korupsi. Bahkan ia bisa dikategorikan sebagai pejuang anti kekerasan. Permasalahannya adalah, efek kejut yang terjadi tidak cukup kuat untuk merubah kebobrokan yang sudah mengakar urat pada bangsa ini. Politisi tetap saja bersilat lidah. Koruptor tetap pada kebiasaannya menilep uang negara. Pejabat juga tetap pada rutinitas kesehariannya. Dan semua kembali menjadi biasa. Peristiwa ini hanya menjadi sedikit hiburan ditengah hiruk pikuk bangsa yang frustasi. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebab hati nurani bangsa ini sudah sakit parah.

Dalam bahasa kasar, pengorbanan yang dilakukan Sondang belum menyentuh substansi permasalahan itu sendiri. Perjuangan yang mulia, niatan yang tulus, hanya pengimplementasiannya yang salah kaprah. Ditinjau dari banyak aspek, mulai dari hukum positif, hukum adat, hukum sosial, serta hukum agama, bunuh diri itu merupakan hal yang tidak patut dilakukan. Kita tidak setuju dengan kebobrokan bangsa ini, namun penyikapannya haruslah dengan cara yang benar. Tanpa mengesampingkan pengorbanan yang telah ia lakukan, diharapkan kedepannya tidak ada lagi anak bangsa yang melakukan hal yang sama.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."






SUMBER :


IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Jumat, 28 Oktober 2011

PEMUDA MENYIKAPI SUMPAH PEMUDA




Tepat 83 tahun yang lalu, sekelompok pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan-kedaerahan berkumpul di suatu tempat untuk membacakan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi bukti otentik terbentuknya bangsa Indonesia, maka dari itu sudah seharusnya setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Sebuah momentum kebangkitan bangsa, ketika bangsa ini masih dalam kondisi tertekan akibat penjajahan Belanda. Kondisi ketertindasan ini menyadarkan para pemuda akan pentingnya persatuan diantara sesamanya, untuk membebaskan diri dari cengkeraman kaum kolonialis. Hal inilah yang menjadi titik balik perjuangan Indonesia sampai pada akhirnya berhasil merebut kemerdekaan 17 tahun setelahnya, pada 17 Agustus 1945.

Timbul sebuah pertanyaan mengenai pengimplementasian Sumpah Pemuda dewasa ini. Para pendahulu kita bersatu dengan satu tujuan yang jelas nan pasti, yaitu melawan tekanan penjajahan dari kaum kolonialis, dan organisasi kepemudaan-kedaerahan yang  sebelumnya bergerak sendiri-sendiri mulai tersadar dan bersatu demi membebaskan bumi pertiwi dari cengkeraman penjajah. Lantas, apakah tujuan persatuan pemuda sekarang ini? Tidak adanya musuh yang nyata men-degenerasi rasa persatuan dari kalangan muda dewasa ini. Ditambah lagi wawasan para pemuda pada bidang kenegaraan yang -kalau boleh dibilang- amat minim sehingga rasa memiliki negara ini pun semakin tergerogoti seiring dengan perkembangan zaman. Pemahaman sejarah kebangsaan yang berkurang pun ikut memberi andil pada terjadinya fenomena ini.

Lantas, masih relevankah Sumpah Pemuda dengan situasi dan kondisi dewasa ini?

Kita sebut suatu contoh, tawuran pelajar antar sekolah atau bahkan antar kampus yang seringkali terjadi terutama di kota-kota besar. Padahal seharusnya, sebagai mahasiswa, sebagai golongan muda, kita merupakan tulang punggung kebangkitan bangsa di masa yang akan datang. Sebagai calon pengganti para pemimpin bangsa dan negara ini, seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menggerakkan bangsa ini nantinya. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan poin kedua dari Sumpah Pemuda itu sendiri, yaitu Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.”  Ketika para pendahulu kita berkorban jiwa dan raga demi memperjuangkan kemerdekaan negara ini, demi menjadikan para penerusnya bisa hidup di negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, apa perasaan mereka ketika mereka mengetahui bahwa para penerusnya malah saling berperang dengan saudara sebangsa setanah air?

Lantas, apakah kita bisa berpendapat bahwa Sumpah Pemuda masih relevan untuk diimplementasikan dewasa ini? Tentu saja masih relevan! Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan Sumpah Pemuda. Sama halnya dengan tidak ada yang salah dengan Pancasila. Ketika ada orang yang menggugat Pancasila, atau menganggap Sumpah Pemuda itu sudah tidak relevan dengan dinamika sekarang, justru kesalahan itu ada pada individu yang tidak bisa mengimplementasikan isi dari Sumpah Pemuda itu dengan baik dan benar. Sumpah Pemuda akan selalu relevan ketika masih ada yang mau membuat perubahan yang berarti bagi Indonesia. Sebagai pemuda yang identik dengan asas Agent of Change atau agen perubahan, tugas kitalah untuk membuat perubahan tersebut dan menjadikan Sumpah Pemuda senantiasa relevan dari masa ke masa. Selama Indonesia masih memiliki harapan yang besar untuk memperjuangkan apa-apa yang telah digagas oleh para pendahulu kita, semangat Sumpah Pemuda akan selalu ada dalam tingkah laku kita berbangsa dan bernegara.

Seorang tokoh intelektual muda versi majalah Foreign Policy (Amerika Serikat) sekaligus rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan pernah mengatakan “Janganlah ributkan tentang mengapa terjadi kegelapan, nyalakan lilin disekitar kita lebih banyak. Apakah sistem yang gelap tidak bisa diubah, sehingga kita harus berdiam diri tak berupaya mengubahnya? Apa artinya kalau lilin itu kita nyalakan tetapi tak lama kegelapan menyergap lilin itu dan mematikannya? Ini adalah pikiran saya yang berontak ingin lepas dari suasana kegelapan, kegelapan diri saya dan lingkungan saya.” (1) Hal ini sangat menohok bagi golongan pemuda dan mahasiswa, hal yang selama ini kurang dipedulikan. Suatu perbaikan, baik perbaikan secara internal ataupun eksternal, meniscayakan adanya perubahan minimal perubahan dari diri sendiri.

Lantas, apa yang harus kita lakukan demi sebuah perubahan, dalam kapasitas kita sebagai mahasiswa?

Dalam kapasitas kita sebagai mahasiswa, hal terkecil yang bisa kita lakukan sebenarnya sudah jelas. Belajar seoptimal mungkin, agar bisa berkontribusi pada negara ini dari bidang yang kita geluti. Perlu kita ingat, presiden pertama dari republik ini adalah jebolan teknik. Tokoh lainnya adalah salah seorang panitia Kongres Pemoeda pada saat pembacaan Sumpah Pemuda adalah seorang seniman, bukan aktivis kepemudaan-kedaerahan. Namun, siapa sangka seniman itu berhasil menggubah suatu lagu yang akhirnya menjadi national anthem dari negara ini. Ya, beliau adalah WR Soepratman.

Patut juga kita memiliki sense of belonging terhadap negara ini. Kita patut mencontoh presiden ketiga Republik Indonesia. Sebagai seorang ilmuwan di bidang aeronautika (teknik penerbangan) ia bahkan telah menduduki jabatan sebagai vice president pada sebuah perusahaan penerbangan di Jerman, Messerschmitt-Bölkow-Blohm  dan melakukan banyak riset dan menemukan beberapa teorema yang dikenal sebagai Habibie Factor, Habibie Theorem, dan Habibie Method (2). Di puncak karirnya, ketika Presiden Soeharto memanggilnya kembali ke Indonesia untuk membaktikan ilmunya kepada republik ini, beliau pun kembali ke Indonesia. Suatu keputusan yang patut diteladani, karena sebagai vice president  di perusahaan multinasional dengan pendapatan yang sangat besar ia rela melepaskan itu semua demi membaktikan dirinya kepada negara, bahkan ketika tunjangan yang ia dapat di Indonesia tidaklah sebanding dengan apa yang ia dapat di Jerman.

Semoga kita bisa mengimplementasikan apa-apa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, dan dapat mengabdikan diri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.



SUMBER GAMBAR :
Sumpah Pemuda – www.google.com

SUMBER ARTIKEL :
(2)                          http://en.wikipedia.org/wiki/Bacharuddin_Jusuf_Habibie

SUMBER DISKUSI :
Diskusi Pojok Kampus, Divisi Kajian Strategis Departemen Hubungan Luar HMTC ITS, 28 Oktober 2011





IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Selasa, 04 Oktober 2011

Masih Saktikah Pancasila Kita?

Setiap tanggal 1 Oktober, Presiden Indonesia memimpin upacara Hari Kesaktian Pancasila. Upacara ini selalu diadakan setiap tahun di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur ini bertujuan untuk meningkatkan rasa semangat dan kebersamaan. Kebulatan tekad untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber kekuatan, menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan, menegakkan  kebenaran dan keadilan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (1)

Namun, apakah Pancasila itu?

Ketika kita melihat di dalam kantor instansi pemerintahan baik di pusat maupun pada jajaran di bawahnya, ruang kerja wakil rakyat, maupun ruang kerja para penegak hukum, disana terpampang dengan jelas lambang negara Garuda Pancasila, dan biasanya diapit dengan gambar pemimpin negara ini beserta wakilnya. Gambar garuda ini tentulah memiliki arti dan filosofi secara mendalam, mulai dari jumlah bulu-bulunya yang mencerminkan tanggal kemerdekaan Indonesia, spanduk bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai falsafah yang mempersatukan negara ini yang senantiasa digenggam erat oleh sang garuda, sampai dengan bentuk perisai lima bidang yang tergantung di dadanya. Mewakili lima sila yang disusun oleh pendahulu bangsa ini, yang dalam hal ini merupakan lima ideologi bangsa.

Dalam berbagai upacara yang dilaksanakan untuk memperingati berbagai event yang dianggap memiliki nilai penting, baik berskala nasional maupun kedaerahan, Pancasila selalu dibacakan dalam prosesi upacara tersebut. Bahkan dalam pelaksanaannya, pembacaan Pancasila selalu disandingkan dengan pembacaan bagian dari konstitusi negara kita, Pembukaan UUD 1945. Bisa dibayangkan, alangkah luhurnya nama Pancasila bagi rakyat Indonesia. Tak heran jika kita menilik catatan sejarah, di masa Orde Baru Pancasila menjadi satu-satunya ideologi yang diakui bangsa, dan semua partai politik yang ada haruslah memiliki simbol yang tercantum dalam Pancasila.

Dan jika kita kembali menilik masa Orde Baru, ada sebuah program pemerintah yang dilaksanakan setiap kali ada penerimaan siswa baru, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga bagi para calon pegawai negeri. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagaimana yang telah ditentukan dalam TAP MPR No.II/1978. Dan tujuan utama dari penataran P4 ini adalah menjadikan warga Indonesia yang Pancasilais dan bertanggung jawab.

Dan sudahkah rakyat Indonesia menjadi pribadi Pancasilais?

Ketika sebuah pribadi mampu memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan sehari-hari, pribadi itu layak disebut pribadi Pancasilais. Ketika terjadi bom meletus akibat kesenjangan antar umat beragama, atau ketika terjadi aksi radikal yang berencana mengganggu stabilitas sosial politik di Indonesia, hal tersebut sangatlah tidak Pancasilais. Hal ini menyebabkan beberapa pakar, termasuk diantaranya adalah Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita kembali mengamalkan poin-poin pancasila. "Ketahui proses sejarahnya untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Juga bagaimana mengaktualisasikannya dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ungkap SBY. (2)

Usulan tersebut pun hanyalah menjadi sebuah wacana, ketika semakin tertutupi oleh banyaknya berita lain. Sebut saja kasus tawuran pelajar, radikalisme berbasis agama, dan paling santer akhir-akhir ini adalah isu reshuffle kabinet. Pengalihan isu, biasa dilakukan demi menutup mata dan telinga rakyat atas berita yang “kurang pantas didengar rakyat”.
 
“Tidak semudah membalik telapak tangan”, suatu ungkapan yang biasa dilontarkan petinggi negeri ini jika pembicaraan sudah menyerempet pada bagaimana cara mengimplementasikan wacana ini sehingga suatu langkah konkrit yang tepat dapat diwujudkan. Ketidakyakinan, pesimistis, dan ketidakpercayaan telah merasuk ke dalam sumsum tulang bangsa ini, sehingga mereka merasa bingung bagaimana langkah awal untuk mengimplementasikan usulan ini. Ironisnya, hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila hanya dikorelasikan dengan isu-isu radikalisme berbasis agama, seperti NII atau peledakan rumah ibadah, akan tetapi dalam kenyataannya ketika negara ini diterpa dengan isu-isu korupsi atau kebobrokan pemerintahan, semangat pembaharuan Pancasila seakan luntur tanpa bekas. Ironis memang, hal-hal yang secara struktural dapat menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan masyarakat telah berpindah dari semula sebagai extraordinary crime menjadi dapat ordinary crime atau dalam kata lain dapat “dimaklumi” oleh masyarakat.

Ruang sidang yang besar nan megah, yang ketika membahas tentang kesejahteraan rakyat hanya diisi oleh segelintir anggota dewan, akan tetapi ketika membahas tentang kenaikan gaji dan bermacam tunjangan barulah dipenuhi oleh peserta sidang. Ketika terjadi rapat menetapkan besarnya anggaran untuk kesejahteraan masyarakat, hujan interupsi pun terjadi. Bukan interupsi tentang besarnya anggaran program kesejahteraan tersebut, melainkan interupsi tentang banyaknya nominal yang bisa ditilep dari total anggaran tersebut. Hal tersebut sangatlah kontradiktif dengan sila kelima dari Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang seharusnya ditafsirkan untuk lebih memperhatikan rakyat miskin, konstituen mereka, bukan sebaliknya malah memperjuangkan kepentingan satu golongan.

Ruang peradilan yang seharusnya digunakan untuk memutus perkara dengan bijak dan sesuai hati nurani, akan tetapi kini berubah menjadi ruang transaksi mafia peradilan. Kasus-kasus hukum yang seharusnya diputus hukuman berat, malah diperringan seakan hal itu bukanlah suatu dosa besar. Tidakkah para penegak hukum itu mengingat pasal satu dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Mungkin mereka mengira bahwa Tuhan tidak mengetahui apa yang telah mereka putuskan dalam persidangan. Atau Tuhan telah mereka anggap buta, bisu, dan tuli sehingga mereka dengan seenaknya (atau seenak uang yang mengalir di dalam transaksi gelap mereka) memutuskan suatu perkara diluar akal sehat.

Suatu pengkhianatan terhadap pendahulu bangsa ini ketika asas-asas Pancasila sudah tidak diamalkan tetapi hanyalah menjadi penghias dari ruang rapat, tergantung dengan gagah di depan ruangan beserta dengan foto pimpinan negara, tanpa ada pengamalan terhadap kelima sila tersebut. Oleh sebab itu, tidak heran banyak terjadi kebuntuan dalam perumusan agenda pembaharuan semangat Pancasila didalam kehidupan berbangsa bernegara, karena pada pengamalannya pun Pancasila hanya dianggap sebagai simbol negara, hanya simbol saja.

Lantas, masih saktikah Pancasila di mata rakyat Indonesia? Hanya Tuhan yang tahu.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

SUMBER GAMBAR :
Monumen Pancasila Sakti – www.google.com
SUMBER :
(1)   http://nasional.kompas.com/read/2011/10/01/10044257/Kebersamaan.adalah.Makna.Kesaktian.Pancasila
(2)   http://www.menkokesra.go.id/content/presiden-jangan-lagi-memperdebatkan-pancasila



IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Selasa, 30 Agustus 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H

kami mewakili segenap administrator coretanaghe mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H, Taqabbalallahu Minna Wa Minkum bagi semua yang merayakannya, serta Mohon Maaf Lahir Dan Batin untuk semuanya. semoga di hari yang fitri ini kita bisa kembali menjadi jiwa yang bersih.





tertanda

administrator coretanaghe.blogspot.com


sumber gambar : http://www.anggarakasa.com/

Selasa, 16 Agustus 2011

INDONESIA RAYA


I

Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku.
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu!
Hiduplah tanahku, Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
 Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.


II

Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya.
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya!
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.


III

Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
 S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya, 
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.


Refrain

Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya!
Merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya!

DIRGAHAYU INDONESIAKU

mengenang 66 tahun kemerdekaan. semoga negara ini semakin hari semakin berkembang dalam mencapai tujuannya, semakin baik dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

DIRGAHAYU INDONESIAKU




Minggu, 17 Juli 2011

Aku Peduli! Kamu?


 Sedikit realita tentang negara ini. Bagaimanakah kepedulian yang akan anda tunjukkan ke negara ini, dimana kepedulian anda pada negara ini berbanding terbalik dengan kenyamanan hidup. Dimana keadilan, integritas, dan moral yang didedikasikan demi negara ini lambat laun mulai terkikis oleh duit banyak, hidup senang, dan posisi. Lantas, apakah yang anda tuju itu akan mengorbankan masa depan negara anda? AKU PEDULI, dan bagaimana dengan anda?


sumber video :
http://www.youtube.com/watch?v=Pmw8UPKHbqs

Minggu, 19 Juni 2011

Kejujuran Sang Whistle Blower


KEJUJURAN. Sebuah kata yang mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk direalisasikan. Entah mengapa, kejujuran seakan menjadi barang langka di republik ini. 

Sebut saja sebuah kisah tentang “pencontekan massal Ujian Nasional” di SDN Gadel 2, Surabaya. 16 Mei lalu, Alif, seorang siswa kelas 6 SDN Gadel 2 Surabaya, melapor pada ibunya Siami tentang kejadian pencontekan massal di sekolahnya. Alif diminta oleh wali kelasnya untuk menjadi “sumber” contekan UN untuk teman-temannya. Pengakuan lugu anaknya membuat Siami shock. Bahkan, masih menurut Alif, sehari menjelang UN pun diadakan “simulasi” kecurangan massal tersebut. "Waktu H-1 diadakan simulasi mencontek," kata Alif saat telekonfrens dari Universitas Airlangga Surabaya dengan aktivis di Aula gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 16 Juni 2011.  "Nanti, kertas itu ditulis dengan kode-kode. Misalnya, angka 001 itu untuk jawaban A. Nanti, kode itu dilihatkan teman di belakang. Biar yang belakang tahu," lanjutnya lagi (1).

Yang jadi masalah adalah, setelah tereksposnya kasus ini, warga Gadel, yang notabene juga menyekolahkan anaknya di SD tersebut, beramai ramai “mendemo” rumah Siami. Mereka menuntut Siami agar meminta maaf pada SDN Gadel 2 karena menurutnya pernyataan Siami telah mencemarkan nama baik SDN Gadel 2. Menurutnya, peristiwa nyontek massal itu adalah suatu hal yang wajar. Mereka menilai Siami, dan keluarganya tak punya hati. Mencemarkan nama sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali warga menggelar demonstrasi di depan rumahnya. Bahkan warga pun mengusir Siami dari Gadel. "Usir, usir!," teriakan warga Gadel menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya (2).

Satu kisah lagi tentang dampak dari kejujuran seorang whistleblower. Wa Ode Nurhayati, seorang anggota Badan Anggaran DPR RI dari F-PAN, membuka kebobrokan dari Badan Anggaran DPR RI. Hal ini dipaparkan secara gamblang pada acara Mata Najwa episode 25 Mei 2011 di Metro TV (3). Menurutnya, ada 2 modus utama “penilepan” uang rakyat yang dilakukan oleh Badan Anggaran DPR RI. Selain melakukan mark up anggaran suatu proyek, modus lainnya adalah dengan mengurangi kualitas barang yang dibutuhkan dalam  proyek tersebut. Ketika ditanya oleh Najwa Shihab, presenter Mata Najwa tentang “Siapakah sebetulnya penjahat anggaran tersebut? Apakah anggota Badan Anggaran, pimpinan DPR, ataukah Menteri Keuangan?” dengan tegas Wa Ode menjawab “Semuanya!”

Sontak petinggi DPR pun bereaksi keras terhadap statement tersebut. Marzuki Ali sebagai ketua DPR RI tidak terima dengan statement tersebut. Bahkan, Marzuki pun melaporkan Wa Ode ke Badan Kehormatan DPR karena dianggap telah mencemarkan nama baik DPR secara umum, dan nama baik dirinya pribadi secara khusus sebagai pimpinan DPR RI. Marzuki menganggap tuduhan itu tidak berdasar dan tidak dilengkapi dengan bukti otentik (4). Selain itu, banyak SMS teror dan sindiran yang diterima oleh Wa Ode dan keluarga terkait dengan keberaniannya mengungkap permainan mafia anggaran di DPR. ”Nada tekanan banyak sekali, tidak hanya ditujukan kepada saya tapi juga keluarga” sebut Ibu satu anak tanpa menyebut tekanan yang dimaksud (5).

Pertanyaan saya sebagai orang awam, mengapa seorang yang sudah dengan berani membongkar “kebohongan terstruktur” tadi harus menjadi tumbal? Seperti nyonya Siami yang menjadi public enemy di kalangan tetangganya di Gadel, bahkan sampai diusir dari rumahnya, Wa Ode pun mengalami tekanan yang tidak kalah hebat. Ia bahkan sampai diadukan ke Badan Kehormatan DPR, bahkan ia dan keluarganya diteror melalui pesan singkat yang bertubi-tubi. 

Berkaca pada “kebohongan terstruktur” yang dicoba diterapkan di SDN Gadel 2, walaupun berhasil terungkap dan mendapat sorotan dari banyak pihak, hal ini bisa dikatakan sebagai penanaman nilai-nilai kebohongan sejak dini. Apa jadinya ketika generasi muda bangsa diajarkan, bahkan dididik oleh gurunya untuk “melanggar peraturan”? Tidaklah heran jika sekarang ditemukan anggota dewan yang terlatih untuk mengutip uang rakyat, dan anggota dewan yang melakukan hal tersebut tidak cuma satu dua orang tapi banyak sekali anggota dewan yang menyambi menjadi pencatut duit rakyat. Maka dari itu tidaklah salah kalau kita bisa menggeneralisir hal tersebut, dengan menjuluki DPR sebagai sarang “tikus” koruptor.

Hal lain yang saya sesalkan pada hal ini adalah cara penyelesaian kasus contek massal yang dilakukan oleh Mendiknas RI, setelah menyelidiki lebih dalam, beliau menyimpulkan bahwa tidak terjadi contek massal di SDN Gadel 2 Surabaya. "Kita sudah mendapatkan jawaban dari setiap anak di Gadel, akan ketahuan apakah polanya sama sehingga terjadi nyontek massal. Kalau satu kelas salahnya sama, benarnya sama, nilainya sama, kita curigai ada nyontek massal. Tetapi, setelah melihat pola jawaban Matematika dan pelajaran lainnya, tidak menunjukkan terjadi kesamaan sehingga kami menyimpulkan tidak terjadi nyontek massal," kata Nuh (6). Beliau bersikeras bahwa hal itu bisa dikatakan sebuah pencontekan massal apabila jawaban para peserta UN itu sama semua, dan pada kenyataannya adalah jawaban para peserta banyak yang berbeda. Mungkin beliau lupa bahwa persoalan sebenarnya bukanlah masalah “pencontekan massal” itu sendiri, tapi substansi utama dari permasalahan ini adalah merosotnya nilai kejujuran di Indonesia, bahkan pada generasi muda dari bangsa itu sendiri. Ketika beliau menyimpulkan berdasar hasil yang ditemukan, yakni pada tidak samanya jawaban para peserta UN, mungkin beliau menyimpulkan dengan logika yang sedikit keliru, bahkan kalau boleh sedikit ekstrem, itu bisa dikatakan logika koruptor. Saya ambil contoh ketika seorang koruptor mendapat sebuah proyek, katakanlah membuat sebuah gedung, dengan anggaran sebesar 5 miliar. Pada kenyataannya ia membangun gedung hanya dengan anggaran 4 miliar sedangkan 1 miliar sisanya ditilep sendiri. Kalau kita berorientasi pada hasil, tidak peduli berapapun anggarannya, yang penting hasilnya, dengan kata lain gedung itu, bisa terbangun. Padahal secara substansial disitu terjadi sebuah praktek korupsi. Inilah yang patut diteliti lebih lanjut, mengapa korupsi bisa tumbuh dan berkembang di negara kita tercinta? Apakah karena masyarakat terlalu berorientasi pada hasil, bukan pada proses? Ataukah karena gencarnya penanaman nilai-nilai kebohongan pada generasi muda sejak dini? Entahlah.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."




Sumber :




IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.