Follow Me on Twitter

Minggu, 29 April 2012

Selayang Pandang Tentang Kebun Binatang Surabaya


KEBUN BINATANG SURABAYA. Ya, objek wisata ini merupakan salah satu ikon kota Surabaya. Kebun binatang ini pernah menjadi kebun binatang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, koleksi satwa di kebun binatang ini juga termasuk cukup lengkap. Lebih dari 300 spesies satwa dipelihara disini dan jumlah satwa yang ada disana mencapai kurang lebih 4.300 ekor.

Sejarah KBS

Kebun Binatang Surabaya didirikan berdasar SK Gubernur Jenderal Belanda pada 31 Agustus 1916, dengan nama “Soerabaiasche Planten-en Dierentuin” (Kebun Botani dan Binatang Surabaya) dan berlokasi di Kaliondo, Surabaya. 29 September 1917 KBS  berpindah ke jalan Groedo, dan pada tahun 1920 berpindah lagi ke jalan Darmo, dimana KBS berlokasi hingga sekarang dan memiliki luas 30.500 m2.

Enam tahun setelah pembentukannya, tepatnya pada 21 Juli 1922, akibat dari tingginya biaya operasional, KBS megnalami krisis dan akan dibubarkan, tapi rencana itu dicegah oleh pihak Kotamadya Surabaya. Dan pada tahun 1927 Walikota dan Anggota Dewan mempersuasi Dewan Kota Surabaya untuk memberi perhatian khusus terhadap KBS. Dengan SK DPR tanggal 3 Juli 1927 dibelikan tanah seluas 32.000 m2 untuk memperluas KBS, hingga pada tahun 1939 sampai sekarang luas KBS menjadi 15 hektare. Dan sebagai pelengkap, pada tahun 1940 dibuatlah taman KBS yang luasnya 85.000 m2.

          Permasalahan di KBS

Secara kasat mata kita bisa melihat permasalahan yang ada di KBS. Ya, banyaknya hewan yang mati di KBS itu adalah permasalahan di KBS. Berdasarkan data yang dikeluarkan KBS, sepanjang Januari – September 2011, tercatat 245 ekor satwa telah mati. Tentunya hal ini mengundang banyak keprihatinan. Awal Januari lalu, babi hutan “Celeng Goteng” mati karena keracunan sianida. Awal Februari juga terjadi kematian “Kliwon”, jerapah KBS yang mati karena terlalu banyak memakan plastic. Ketika diotopsi, dari lambung Kliwon ditemukan 20 kg plastic yang tertelan, dan diduga plastic sebanyak itu berada disana itu terakumulasi setelah bertahun-tahun. Maret lalu juga seekor banteng KBS mengalami patah kaki hingga mati. Banyak lagi kasus hewan-hewan yang mati karena berbagai alasan, mulai dari kebersihan kandang yang kurang higienis, terlalu padatnya populasi satwa tersebut, perebutan betina, penyakit, dan sebagainya. Sehingga The Telegraph, salah satu media massa terkemuka di Inggris menjuluki KBS sebagai Indonesia’s Nightmare Zoo karena terlalu banyaknya satwa yang mati di kebun binatang tersebut.

Namun, dibalik semua itu ada permasalahan yang tidak kalah pelik dibanding “sekedar” kematian satwa kebun binatang. Ya, permasalahan itu adalah konflik internal yang mendera pengurus KBS sejak 2010. Sebelumnya, sejak Indonesia merdeka dari jajahan Belanda sampai tahun 2010, hak kepengurusan KBS dipegang oleh Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (PTFSS), kemudian setelah menteri kehutanan mengeluarkan BK Nomor 471/Menhut-IV/2010 pada tanggal 2010, kepengurusan KBS berpindah tangan menjadi dikelola oleh Tim Pengelola Sementara (TPS). Semakin menambah pelik suasana, awal maret lalu PTFSS melayangkan gugatan pada TPS dan Kemenhut terkait dengan pembekuan wewenang pengelolaan KBS. Menurut PTFSS, SK Kemenhut itu cacat hukum dan seharusnya wewenang mengelola KBS dikembalikan pada PTFSS. Menurutnya lagi, akubat dari mismanajemen TPS itulah banyak diantara satwa KBS yang mati.

Dari hasil analisa sosial kami ke KBS dan hasil wawancara dengan kalangan internal dari karyawan KBS sendiri, permasalahan disana adalah karena KBS yang masih belum berbadan hukum. Dari awalnya KBS adalah dikelola oleh sebuah perkumpulan TPFSS, dan setelah turunnya SK Kemenhut terjadi pengalihan hak kepengelolaan KBS menjadi di tangan TPS. Kedua pihak ini masih belum berbadan hukum, dan hal ini berimplikasi kepada kepengelolaan KBS itu sendiri. Seharusnya adalah, proses pengurusan badan hukum untuk KBS itu bisa diselesaikan selambat-lambatnya enam bulan setelah pemindahan kepengurusan ke TPS, akan tetapi karena adanya ketidak sepahaman antara Kemenhut dan Pemkot Surabaya, proses pengurusan itu menjadi terhambat hingga sekarang.

Salah satu implikasi tidak adanya badan hukum di KBS adalah tidak bebasnya untuk melakukan “interaksi” kepada kebun binatang - kebun binatang lainnya. Seperti kita ketahui bersama, antara kebun binatang itu terjadi suatu sistemasi barter atau pemberian satwa konservasi. Dan dalam hal ini, ketika KBS belum memiliki badan hukumnya tersendiri, sistemasi barter dan interaksi lainnya itu akan sulit untuk dilakukan.

Implikasi lainnya yang terjadi adalah tidak adanya kucuran anggaran dari Pemerintah / Pemkot untuk KBS. Sejauh ini, biaya operasional KBS itu murni dari tiket masuk dan tambahan pemasukan dari sponsor-sponsor, tanpa ada kucuran dana dari Pemerintah. Justru KBS sendiri yang memberikan pemasukan berupa pajak hiburan masyarakat ke Pemkot Surabaya. Masih menurut sumber internal dari karyawan KBS, salah satu kelemahan dari KBS adalah anggaran yang dimiliki masih kurang. Hal itu berimbas pada padatnya populasi hewan konservasi di KBS yang tidak berimbang dengan luasnya kandang. Tidak diherankan banyak terjadi overload dari hewan konservasi dan berakibat pada kematian satwa.

          Harapan untuk KBS

Kita banya bisa berharap, agar KBS bisa kembali menunjukkan jati dirinya sebagai tempat rekreasi-edukasional yang terkemuka di Surabaya. Selain sebagai paru-paru kota Surabaya, KBS juga membantu pelestarian satwa yang dilindungi. Ketika KBS sudah memiliki badan hukum, diharapkan hal itu akan memberikan kesejahteraan bagi satwa konservasi dan segenap stakeholder dari KBS itu sendiri.


IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktur Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM ITS TRANSFORMATION

Senin, 09 April 2012

Sebuah Kontroversi tentang RUU Pendidikan Tinggi



Menurut rencana, hari ini, 10 April 2012, akan diadakan sidang paripurna RUU PT (Rancangan Undang Undang Pendidikan Tinggi). Tentu saja dalam setiap pembahasan undang undang selalu didapati beberapa hal yang patut dikaji.

Pada dasarnya pendidikan adalah salah satu tujuan dari negara kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat “..mencerdaskan kehidupan bangsa..” juga pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tentang pendidikan yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” yang dalam hal ini tentunya adalah pendidikan yang tidak diskriminatif.

RUU PT ini muncul dilatar belakangi akan adanya desakan dari tujuh buah perguruan tinggi berbadan hukum milik negara (PT BHMN) yang seakan kehilangan payung hukum pasca pembatalan UU BHP (Undang Undang Badan Hukum Pendidikan) oleh MK pada Maret 2010.  Dan akibat pembatalan itu landasan hukum dari PT BUMN kembali ke PP (Peraturan Pemerintah) untuk masing masing PT. Sementara itu, PP dinilai masih terlalu lemah dalam kekuatan hukum sehingga dianggap perlu untuk membuat suatu undang undang yang mengatur tentang pendidikan tinggi. Atas dasar itulah RUU PT dianggap perlu untuk dibuat.

Namun, tentu saja kurang pantas ketika sebuah undang undang dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan beberapa perguruan tinggi saja. Maka dari itu diangkatlah sebuah isu besar dalam pembentukan RUU tersebut. Isu otonomi perguruan tinggi dianggap layak diangkat dalam RUU ini, termasuk didalamnya adalah otonomi keuangan dan otonomi akademik. Otonomi keuangan yang menyangkut pengelolaan keuangan PT yang fleksibel sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar, juga otonomi akademik terkait dengan kebebasan PT untuk mengembangkan program studinya tanpa mengalami kendala birokrasi.

Ada beberapa poin yang patut dikaji dalam RUU ini.

Pasal 114
(1)  Perguruan Tinggi di negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persoalan utama disini adalah RUU PT yang menganut sistem liberalisasi pendidikan, dimana negara seakan berlepas tangan terhadap tanggung jawab pendidikan di indonesia. Hal ini bermula ketika indonesia menandatangani perjanjian GATS (General Agreement on Trades in Services) pada tahun 1994 yang menyepakati tentang liberalisasi 12 sektor jasa, termasuk didalamnya adalah sektor pendidikan. Ketika konsep liberalisme –khususnya di bidang pendidikan– terjadi, hal ini akan menimbulkan ketidak seimbangan antar perguruan tinggi di indonesia. Seperti kita ketahui bersama, dengan adanya banyak perguruan tinggi, hanya beberapa perguruan tinggi saja yang menjadi pilihan favorit para calon mahasiswa. Sedangkan pada perguruan tinggi lainnya akan terkesan kekurangan peminat. Apalagi ketika perguruan tinggi asing yang ‘membuka cabang’ di indonesia yang secara alami akan banyak menyedot peminat dari calon mahasiswa sendiri. Hal ini akan menimbulkan terkikisnya budaya lokal indonesia. Belum lagi ketika hasil penelitian dari indonesia yang berpindah tangan menjadi hak milik perguruan tinggi yang bersangkutan, tentunya itu akan sangat merugikan bangsa ini.

Pasal 77
(1) Status pengelolaan perguruan tinggi terdiri atas:
a. otonom terbatas;
b. semi otonom, atau
c. otonom.
(4) Status otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik.
(5) Sebagian dari wewenang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri.

Aturan ini secara gamblang menjelaskan adanya kastanisasi atas perguruan tinggi itu sendiri. Pada ayat 4 dijelaskan bahwa perguruan tinggi otonom akan memiliki hak pengelolaan di bidang akademik dan pada pasal 5 ditambahkan salah satu wewenangnya adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri. Otonomi ini, secara lebih lanjut akan menimbulkan banyak permasalahan terkait dengan akuntabilitas, transparansi, bahkan akan menimbulkan seleksi finansial bagi calon mahasiswa yang akan berimplikasi pada diskriminasi warga negara dalam hak memperoleh pendidikan. Ke depannya, segala bentuk diskriminasi ataupun kastanisasi itu seharusnya dihindari, bukan dikembangkan dalam bentuk undang undang.

Pasal 80
(1) PTN yang berstatus otonom menerima mandat penyelenggaraan perguruan tinggi dari Pemerintah melalui pembentukan badan hukum pendidikan yang bersifat nirlaba.
(2) PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
c. hak untuk memiliki kekayaan negara yang terpisah;
f. wewenang untuk mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel
h. wewenang untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi

Pada pasal ini ditemukan kerancuan antara perguruan tinggi sebagai sarana pendidikan dan perguruan tinggi sebagai badan usaha. Dalam tri dharma perguruan tinggi, perguruan tinggi  menjalankan fungsinya sebagai sarana 1) Pendidikan 2) Penelitian dan Pengembangan; serta 3) Pengabdian pada Masyarakat. Sementara itu RUU ini akan mereduksi implementasi tri dharma perguruan tinggi dan akan merubah sebagai badan usaha yang profit-oriented karena negara mengurangi subsidi terhadap biaya operasional perguruan tinggi.

Pasal 90
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa baru yang tidak mampu secara ekonomi agar dapat menyelesaikan studinya sesuai peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
c. memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa;
(3) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan tanpa bunga atau dengan bunga paling tinggi 50% dari suku bunga Bank Indonesia.
(4) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dilunasi oleh mahasiswa setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Pada ayat 2 butir c pemerintah memberikan salah satu solusi terkait dengan pemenuhan biaya pendidikan bagi kalangan tidak mampu dengan program hutang. Kebijakan ini cukup aneh ketika pemerintah mengajarkan budaya berhutang sebagai salah satu solusi.

Pasal 14
(1) Mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri mengembangkan potensinya di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi dan/atau profesional.
 (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai mahasiswa diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 15
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kemampuan melalui kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan mahasiswa.
(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
(3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 91
(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh, dari, dan untuk mahasiswa.
 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan.

Dalam beberapa pasal diatas, beragam ketentuan sebagai mahasiswa diatur oleh pemerintah dalam bentuk peraturan menteri. Juga segala kegiatan kokurikuler dan/atau kegiatan ekstrakurikuler juga diatur oleh pemerintah dengan cara yang sama. Yang menjadi permasalahan adalah hal ini berpoternsi mengulang episode NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan) seperti yang terjadi di rezim orde baru. Hal ini berpotensi mengakibatkan banyak hal, seperti tindakan represif yang mengekang kegiatan kemahasiswaan dan lain sebagainya.

Satu hal lagi yang menjadi permasalahan adalah banyaknya peraturan yang berpotensi untuk dibuat sebagai tindak lanjut dari undang undang ini karena semua bentuk pendidikan akan diatur oleh pemerintah, yang dampaknya adalah akan mengakibatkan pemborosan anggaran dan semacamnya.

Satu yang menjadi kesimpulan adalah terlalu banyak celah yang dapat “dimanipulasi” dalam RUU PT ini. Ada baiknya ketika pengesahan RUU ini ditunda agar bisa dikaji lagi secara lebih mendalam.



IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktur Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM ITS TRANSFORMATION