Follow Me on Twitter

Jumat, 29 April 2011

Antara Pengkaderan dan “Peran dan Fungsi Mahasiswa” (PFM)

PENGKADERAN. Apakah pengkaderan itu? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “kader” berarti : (1) perwira atau bintara dl ketentaraan; (2) orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting di pemerintahan, partai, dsb. Jika dalam hal ini kita ambil definisi kedua, maka, istilah “pengkaderan” bisa diartikan sebagai : sebuah proses yang menghasilkan orang yg diharapkan akan memegang peran yg penting di pemerintahan, partai, dsb.

Akan tetapi, di lingkup ITS, istilah “pengkaderan” memiliki definisi : sebuah proses yang menjadikan seorang mahasiswa menjadi “berhak” untuk menyandang titel sebagai seorang anggota himpunan. Dalam hal ini di jurusan Teknik Informatika ITS, pengkaderan yang dimaksud akan menjadikan seorang memiliki embel-embel C-xx di belakang namanya. Dengan demikian, setelah mengikuti serangkaian alur pengkaderan, diharapkan para mahasiswa yang telah selesai mengikutinya itu memiliki sejumlah kompetensi dibandingkan  rekan-rekannya yang tidak mengikuti serangkaian alur pengkaderan tersebut.

Terlepas dari itu semua, seorang anggota himpunan yang dijadikan tolok ukur kesuksesan pengkaderan, seharusnya bisa berbuat lebih banyak demi kemajuan bangsa. Sebagai seorang yang telah dibekali dengan sejumlah kompetensi hasil dari rangkaian alur pengkaderan, idealnya ia adalah mahasiswa terpilih yang mampu berjuang demi bangsa dan negara.

Lantas, apakah kriteria mahasiswa ideal tersebut?

Sebagian besar dari kita, sebagian besar dari mahasiswa Teknik Informatika, sebagian besar dari mahasiswa ITS, tentunya telah mengikuti serangkaian acara pelatihan, yang biasa disebut Pra-TD. Dengan mengesampingkan beberapa orang yang tidak ikut kegiatan tersebut, seharusnya semua mahasiswa tahu, bagaimanakah peran dan fungsi mahasiswa (PFM) yang sesungguhnya. Di dalam Pra-TD dijelaskan bahwa, selain belajar sebagai tugas utama mahasiswa, peran dan fungsi mahasiswa adalah AGENT OF CHANGE, MORAL FORCE, SOCIAL CONTROL, dan IRON STOCK. Agent of change berarti mahasiswa sebagai agen perubahan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik, moral force berarti mahasiswa sebagai kendali moral terhadap masyarakat dan mampu bertindak lebih baik dari yang lainnya karena memiliki latar belakang sebagai kaum intelektual, social control berarti mahasiswa sebagai pengontrol sosial kemasyarakatan dan memberi kritik sosial politik atas berbagai kebijakan pemerintah, dan iron stock berarti mahasiswa sebagai generasi muda bangsa yang patut mempersiapkan diri untuk menggerakkan bangsa di masa yang akan datang.

Lalu, adakah korelasi antara pengkaderan dan peran dan fungsi mahasiswa? Dan bagaimanakah realita yang terjadi?

Jika ditanyakan adakah korelasinya, IDEALNYA tentu saja hal tersebut sangat berhubungan. Mengapa demikian? Sebagai seorang (atau sekelompok orang) yang dianggap telah memiliki kompetensi lebih sebagai buah dari serangkaian alur pengkaderan yang telah mereka lalui, mereka tentunya memiliki kapabilitas yang lebih demi memperjuangkan kehidupan berbangsa bernegara menuju taraf yang lebih baik. Akan tetapi jika kita melihat realitanya, maka, maaf maaf kata, saya tidak bisa berkomentar lebih banyak dari ini. Sebagai sebuah kampus yang dengan bangga mentahbiskan diri sebagai KAMPUS PERJUANGAN, bisa kita bandingkan dengan kampus-kampus lain yang tidak mentitelkan dirinya sebagai kampus perjuangan atau yang setipe dengan itu, menurut pandangan saya sebagai orang awam, implementasi PFM dari kampus kita bisa dikatakan berada di belakang mereka. Ketika kampus-kampus lain berdemo meminta DPR mengurungkan niatnya untuk membangun gedung baru, ketika kampus-kampus lain berdemo menuntut penyelesaian kasus mafia pajak, kita malah berdemo praktikum di lab. Bukannya saya mendiskreditkan padatnya rangkaian kegiatan akademik di kampus tercinta ini, saya akui kegiatan akademik itu amatlah penting demi eksistensi sebagai seorang mahasiswa, tapi apakah kita tak mampu bersaing dengan kampus-kampus lainnya terkait dengan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa? Mana harga diri sebagai KAMPUS PERJUANGAN, yang idealnya selalu berada di deretan terdepan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat? Maaf sekali lagi, bukannya saya menggeneralisir keadaan. Mungkin ada segelintir kecil yang masih mau untuk melaksanakan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa, tapi karena ketiadaan fasilitas yang bisa mewadahi adanya kegiatan tersebut, hal itu menjadi tidak terkoordinir dan tidak mencuat ke permukaan.

Lantas, bagaimanakah cara mengimplementasikan peran dan fungsi sebagai seorang mahasiswa?

Pengimplementasiannya, tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Pada kenyataannya, saya mengambil contoh di angkatan saya, ada sekelompok mahasiswa yang seringkali berdiskusi terkait tentang dinamika sosial kemasyarakatan yang sedang mencuat. Kami seringkali mencari solusinya, walaupun tidak banyak solusi yang berhasil ditemukan yang relevan dengan kondisi riil di lapangan, tapi itu termasuk salah satu hasil pikiran sebagai seorang (atau sekelompok) mahasiswa. Sebagai social control, ketika terjadi suatu gejolak sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai contoh ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia beberapa waktu lalu, dan terjadinya kelangkaan minyak di beberapa tempat, kami mencoba mendiskusikan hal-hal tersebut. Lantas, bagaimanakah cara mengimplementasikan ide ide yang berhasil tertuang pada diskusi tersebut? Kami mencoba memanfaatkan kekuatan media. Untuk apa dibuat media massa, kalau bukan untuk sebagai pengontrol kebijakan pemerintah. Maka dari itu kami mencoba berinisiatif mengirimkannya ke bermacam media, baik berupa media cetak maupun elektronik. Harapan kami adalah, sekiranya KAMPUS PERJUANGAN ini, atau jika kita ambil ruang lingkup yang lebih kecil, himpunan yang melingkupi kegiatan mahasiswanya di lingkungan jurusan tersebut bisa mewadahi aspirasi kami. Entah adanya diskusi-diskusi ringan terkait pembahasan gejala sosial kemasyarakatan yang sedang terjadi ataupun beberapa acara-acara lain yang mampu menumbuhkan sikap berfikir kritis bagi para mahasiswanya. Jika saya (sebagai entitas luar dari himpunan itu sendiri) boleh menilai, selama ini belum ada langkah konkrit terkait gejala tersebut. Padahal, jika saya boleh menyarankan, dengan adanya bidang minat dan bakat, tentunya bisa dibuat suatu kegiatan yang bisa mewadahi timbulnya ide-ide dari mahasiswa itu sendiri, terutama terkait dengan pembahasan gejala sosial kemasyarakatan.

Sebelum dan sesudahnya, saya menegaskan bahwa tulisan ini hanya bersifat kritik yang membangun, bukannya memiliki niatan untuk mendiskreditkan salah satu atau beberapa golongan. Saya ingin mengutip salah satu ayat yang tercantum dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”




IQBAL AKHMAD GHUFRON


Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Rabu, 06 April 2011

Antara Joget India dan Etika Polisi

 

29 Maret 2011 mungkin adalah hari yang bersejarah bagi Briptu Norman Kamaru. Video aksinya berjoget India yang tersebar di situs youtube ternyata berimbas pada banyak hal. Salah satunya adalah namanya menjadi sangat terkenal di berbagai kalangan, karena “kegilaan”nya berjoget India dengan lagu “Chaiyya Chaiyya”. Tak heran, aksi anggota Brimob Polda Gorontalo ini memantik banyak kontroversi dari berbagai kalangan.

            Beberapa kalangan yang tidak setuju berpendapat bahwa, tindakan ini tidak etis untuk dilakukan. Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Anton Bachrul Alam, pada tanggal 5 April  menyatakan bahwa  selain karena Briptu Norman melakukannya ketika sedang bertugas jaga, ia juga melakukannya dengan memakai seragam dinas yang mana akan mencemarkan nama baik kepolisian. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya akan meminta keterangan dan memberikan sanksi bagi Briptu Norman berupa teguran, baik secara lisan maupun tertulis (1). Sependapat dengan hal itu, Kabid Humas Polda Gorontalo AKBP Damanik Wilson juga menegaskan bahwa tindakan Briptu Norman yang merekam videonya sedang berjoget India itu dianggap telah menurunkan wibawa kepolisian, khususnya Polda Gorontalo (2). Selain itu, seorang anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul juga menyatakan bahwa tidak elok jika seorang anggota polisi berjoget ketika sedang bertugas jaga, karena tidak di waktu dan tempat yang tepat (3).

            Sementara itu, sebagian pihak “mendukung” tindakan Briptu Norman sebagai tindakan yang manusiawi. Wakil ketua DPR, Priyo Budi Santoso mengomentari bahwa sangatlah berlebihan kalau ada orang yang berjoget itu diberi sanksi, meski ia adalah anggota kepolisian sekalipun. Ia lantas mencontohkan seringkali Jenderal Polisi menari poco-poco tapi itu tidak menjadi masalah (4). Demikian juga dikatakan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, seharusnya aksi Briptu Norman itu tidak usah diberi sanksi. Hal itu justru memiliki sisi positif yaitu menghibur orang lain. Hal tersebut juga masih jauh lebih baik dibanding oknum kepolisian yang menggunakan tindakan represif untuk melampiaskan kepenatan (5)

            Setelah dilakukan konfirmasi dan pengecekan lebih mendalam, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Anton Bachrul Alam rabu pagi, 6 April 2011 memberikan pernyataan bahwa adegan joget India tersebut dilakukan tidak ketika tugas jaga. "Untuk Briptu Norman, setelah dilakukan pemeriksaan ternyata itu tidak dilakukan pada saat jam kerja atau jam dinas. Jadi wajar-wajar saja. Kita menilai itu sah-sah saja. Saya rasa itu reaksi seorang polisi, kita terima kasih juga," ungkapnya (6). Sependapat dengan pernyataan tersebut, Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga mengapresiasi hal tersebut dan berjanji akan mengarahkan Briptu Norman agar bisa lebih kreatif. Ia pun menyatakan bahwa kepolisian akan memberikan suatu wadah bagi para personilnya untuk mengembangkan kreativitasnya, tentunya dengan cara yang layak. "Intinya diarahkan, kalau pun ada sanksi dari Kapolda, intinya bagaimana menyalurkan kreativitas yang benar," tutup Kapolri (7). Alhasil, Briptu Norman pun menerima “hukuman” dari teman-temannya berupa menyanyi India dalam acara persiapan pemilukada Gorontalo (8).

            Sebenarnya, menurut pendapat saya sebagai seorang awam, tindakan joget India itu memang sangat manusiawi. Presiden saja suka bernyanyi, bahkan mengeluarkan album lagu-lagunya. Bahkan di situs resmi presiden, http://www.presidenri.go.id/, juga tercantum sedikit “promosi” akan album ciptaan Presiden (9). Hal ini sangat manusiawi, karena menyanyi dan berjoget adalah human interest seseorang. Sebagaimana Presiden SBY yang hobi menyanyi dan mengeluarkan album, Briptu Norman juga suka menyanyi dan berjoget India.

            Terkait dengan pendapat-pendapat dari para petinggi kepolisian, mulai dari Kabid Humas Polda Gorontalo AKBP Damanik Wilson, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Anton Bachrul Alam, bahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan Briptu Norman terkait aksinya berjoget India (walaupun setelah dilakukan konfirmasi ternyata tidak dilakukan ketika jam tugas jaga), itu sebenarnya bukan hal yang patut dibesar besarkan. Masih nampak ada tindakan-tindakan dari oknum kepolisian yang lebih tidak beretika, dibanding tindakan Briptu Norman yang “hanya” berjoget India. Bukan hal yang asing di negara ini, oknum polisi yang melakukan penyalahgunaan jabatan, seperti menarik pungutan liar di jalanan, yang tentunya sangat merugikan rakyat. Hal ini tentunya sangat tidak beretika, dan entah kenapa tidak ada langkah konkrit yang diambil pihak kepolisian terkait penanggulangan gejala sosial tersebut. Mengapa hal “sepele” seperti adegan joget India, yang hanya terjadi sekali ini, langsung merebak sedemikian hebohnya sampai diberi tanggapan oleh petinggi kepolisian, sementara kasus pungutan liar yang begitu sering terjadi di negeri ini, dalam hal ini yang melibatkan oknum polisi, jarang sekali terdengar beritanya di media massa? Saya tidak menyebutkan kasus-kasus lain, seperti rekening gendut polisi, perjokian narapidana, atau bahkan mafia hukum, yang sudah dalam ruang lingkup besar. Apakah para oknum polisi yang terkait kasus tersebut masih lebih beretika, dibanding sekedar seorang polisi yang berjoget India?




Sumber video :

Sumber link :







IQBAL AKHMAD GHUFRON

Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya