Follow Me on Twitter

Jumat, 28 Oktober 2011

PEMUDA MENYIKAPI SUMPAH PEMUDA




Tepat 83 tahun yang lalu, sekelompok pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan-kedaerahan berkumpul di suatu tempat untuk membacakan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi bukti otentik terbentuknya bangsa Indonesia, maka dari itu sudah seharusnya setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Sebuah momentum kebangkitan bangsa, ketika bangsa ini masih dalam kondisi tertekan akibat penjajahan Belanda. Kondisi ketertindasan ini menyadarkan para pemuda akan pentingnya persatuan diantara sesamanya, untuk membebaskan diri dari cengkeraman kaum kolonialis. Hal inilah yang menjadi titik balik perjuangan Indonesia sampai pada akhirnya berhasil merebut kemerdekaan 17 tahun setelahnya, pada 17 Agustus 1945.

Timbul sebuah pertanyaan mengenai pengimplementasian Sumpah Pemuda dewasa ini. Para pendahulu kita bersatu dengan satu tujuan yang jelas nan pasti, yaitu melawan tekanan penjajahan dari kaum kolonialis, dan organisasi kepemudaan-kedaerahan yang  sebelumnya bergerak sendiri-sendiri mulai tersadar dan bersatu demi membebaskan bumi pertiwi dari cengkeraman penjajah. Lantas, apakah tujuan persatuan pemuda sekarang ini? Tidak adanya musuh yang nyata men-degenerasi rasa persatuan dari kalangan muda dewasa ini. Ditambah lagi wawasan para pemuda pada bidang kenegaraan yang -kalau boleh dibilang- amat minim sehingga rasa memiliki negara ini pun semakin tergerogoti seiring dengan perkembangan zaman. Pemahaman sejarah kebangsaan yang berkurang pun ikut memberi andil pada terjadinya fenomena ini.

Lantas, masih relevankah Sumpah Pemuda dengan situasi dan kondisi dewasa ini?

Kita sebut suatu contoh, tawuran pelajar antar sekolah atau bahkan antar kampus yang seringkali terjadi terutama di kota-kota besar. Padahal seharusnya, sebagai mahasiswa, sebagai golongan muda, kita merupakan tulang punggung kebangkitan bangsa di masa yang akan datang. Sebagai calon pengganti para pemimpin bangsa dan negara ini, seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menggerakkan bangsa ini nantinya. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan poin kedua dari Sumpah Pemuda itu sendiri, yaitu Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.”  Ketika para pendahulu kita berkorban jiwa dan raga demi memperjuangkan kemerdekaan negara ini, demi menjadikan para penerusnya bisa hidup di negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, apa perasaan mereka ketika mereka mengetahui bahwa para penerusnya malah saling berperang dengan saudara sebangsa setanah air?

Lantas, apakah kita bisa berpendapat bahwa Sumpah Pemuda masih relevan untuk diimplementasikan dewasa ini? Tentu saja masih relevan! Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan Sumpah Pemuda. Sama halnya dengan tidak ada yang salah dengan Pancasila. Ketika ada orang yang menggugat Pancasila, atau menganggap Sumpah Pemuda itu sudah tidak relevan dengan dinamika sekarang, justru kesalahan itu ada pada individu yang tidak bisa mengimplementasikan isi dari Sumpah Pemuda itu dengan baik dan benar. Sumpah Pemuda akan selalu relevan ketika masih ada yang mau membuat perubahan yang berarti bagi Indonesia. Sebagai pemuda yang identik dengan asas Agent of Change atau agen perubahan, tugas kitalah untuk membuat perubahan tersebut dan menjadikan Sumpah Pemuda senantiasa relevan dari masa ke masa. Selama Indonesia masih memiliki harapan yang besar untuk memperjuangkan apa-apa yang telah digagas oleh para pendahulu kita, semangat Sumpah Pemuda akan selalu ada dalam tingkah laku kita berbangsa dan bernegara.

Seorang tokoh intelektual muda versi majalah Foreign Policy (Amerika Serikat) sekaligus rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan pernah mengatakan “Janganlah ributkan tentang mengapa terjadi kegelapan, nyalakan lilin disekitar kita lebih banyak. Apakah sistem yang gelap tidak bisa diubah, sehingga kita harus berdiam diri tak berupaya mengubahnya? Apa artinya kalau lilin itu kita nyalakan tetapi tak lama kegelapan menyergap lilin itu dan mematikannya? Ini adalah pikiran saya yang berontak ingin lepas dari suasana kegelapan, kegelapan diri saya dan lingkungan saya.” (1) Hal ini sangat menohok bagi golongan pemuda dan mahasiswa, hal yang selama ini kurang dipedulikan. Suatu perbaikan, baik perbaikan secara internal ataupun eksternal, meniscayakan adanya perubahan minimal perubahan dari diri sendiri.

Lantas, apa yang harus kita lakukan demi sebuah perubahan, dalam kapasitas kita sebagai mahasiswa?

Dalam kapasitas kita sebagai mahasiswa, hal terkecil yang bisa kita lakukan sebenarnya sudah jelas. Belajar seoptimal mungkin, agar bisa berkontribusi pada negara ini dari bidang yang kita geluti. Perlu kita ingat, presiden pertama dari republik ini adalah jebolan teknik. Tokoh lainnya adalah salah seorang panitia Kongres Pemoeda pada saat pembacaan Sumpah Pemuda adalah seorang seniman, bukan aktivis kepemudaan-kedaerahan. Namun, siapa sangka seniman itu berhasil menggubah suatu lagu yang akhirnya menjadi national anthem dari negara ini. Ya, beliau adalah WR Soepratman.

Patut juga kita memiliki sense of belonging terhadap negara ini. Kita patut mencontoh presiden ketiga Republik Indonesia. Sebagai seorang ilmuwan di bidang aeronautika (teknik penerbangan) ia bahkan telah menduduki jabatan sebagai vice president pada sebuah perusahaan penerbangan di Jerman, Messerschmitt-Bölkow-Blohm  dan melakukan banyak riset dan menemukan beberapa teorema yang dikenal sebagai Habibie Factor, Habibie Theorem, dan Habibie Method (2). Di puncak karirnya, ketika Presiden Soeharto memanggilnya kembali ke Indonesia untuk membaktikan ilmunya kepada republik ini, beliau pun kembali ke Indonesia. Suatu keputusan yang patut diteladani, karena sebagai vice president  di perusahaan multinasional dengan pendapatan yang sangat besar ia rela melepaskan itu semua demi membaktikan dirinya kepada negara, bahkan ketika tunjangan yang ia dapat di Indonesia tidaklah sebanding dengan apa yang ia dapat di Jerman.

Semoga kita bisa mengimplementasikan apa-apa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, dan dapat mengabdikan diri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.



SUMBER GAMBAR :
Sumpah Pemuda – www.google.com

SUMBER ARTIKEL :
(2)                          http://en.wikipedia.org/wiki/Bacharuddin_Jusuf_Habibie

SUMBER DISKUSI :
Diskusi Pojok Kampus, Divisi Kajian Strategis Departemen Hubungan Luar HMTC ITS, 28 Oktober 2011





IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Selasa, 04 Oktober 2011

Masih Saktikah Pancasila Kita?

Setiap tanggal 1 Oktober, Presiden Indonesia memimpin upacara Hari Kesaktian Pancasila. Upacara ini selalu diadakan setiap tahun di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur ini bertujuan untuk meningkatkan rasa semangat dan kebersamaan. Kebulatan tekad untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber kekuatan, menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan, menegakkan  kebenaran dan keadilan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (1)

Namun, apakah Pancasila itu?

Ketika kita melihat di dalam kantor instansi pemerintahan baik di pusat maupun pada jajaran di bawahnya, ruang kerja wakil rakyat, maupun ruang kerja para penegak hukum, disana terpampang dengan jelas lambang negara Garuda Pancasila, dan biasanya diapit dengan gambar pemimpin negara ini beserta wakilnya. Gambar garuda ini tentulah memiliki arti dan filosofi secara mendalam, mulai dari jumlah bulu-bulunya yang mencerminkan tanggal kemerdekaan Indonesia, spanduk bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai falsafah yang mempersatukan negara ini yang senantiasa digenggam erat oleh sang garuda, sampai dengan bentuk perisai lima bidang yang tergantung di dadanya. Mewakili lima sila yang disusun oleh pendahulu bangsa ini, yang dalam hal ini merupakan lima ideologi bangsa.

Dalam berbagai upacara yang dilaksanakan untuk memperingati berbagai event yang dianggap memiliki nilai penting, baik berskala nasional maupun kedaerahan, Pancasila selalu dibacakan dalam prosesi upacara tersebut. Bahkan dalam pelaksanaannya, pembacaan Pancasila selalu disandingkan dengan pembacaan bagian dari konstitusi negara kita, Pembukaan UUD 1945. Bisa dibayangkan, alangkah luhurnya nama Pancasila bagi rakyat Indonesia. Tak heran jika kita menilik catatan sejarah, di masa Orde Baru Pancasila menjadi satu-satunya ideologi yang diakui bangsa, dan semua partai politik yang ada haruslah memiliki simbol yang tercantum dalam Pancasila.

Dan jika kita kembali menilik masa Orde Baru, ada sebuah program pemerintah yang dilaksanakan setiap kali ada penerimaan siswa baru, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga bagi para calon pegawai negeri. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagaimana yang telah ditentukan dalam TAP MPR No.II/1978. Dan tujuan utama dari penataran P4 ini adalah menjadikan warga Indonesia yang Pancasilais dan bertanggung jawab.

Dan sudahkah rakyat Indonesia menjadi pribadi Pancasilais?

Ketika sebuah pribadi mampu memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan sehari-hari, pribadi itu layak disebut pribadi Pancasilais. Ketika terjadi bom meletus akibat kesenjangan antar umat beragama, atau ketika terjadi aksi radikal yang berencana mengganggu stabilitas sosial politik di Indonesia, hal tersebut sangatlah tidak Pancasilais. Hal ini menyebabkan beberapa pakar, termasuk diantaranya adalah Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita kembali mengamalkan poin-poin pancasila. "Ketahui proses sejarahnya untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Juga bagaimana mengaktualisasikannya dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ungkap SBY. (2)

Usulan tersebut pun hanyalah menjadi sebuah wacana, ketika semakin tertutupi oleh banyaknya berita lain. Sebut saja kasus tawuran pelajar, radikalisme berbasis agama, dan paling santer akhir-akhir ini adalah isu reshuffle kabinet. Pengalihan isu, biasa dilakukan demi menutup mata dan telinga rakyat atas berita yang “kurang pantas didengar rakyat”.
 
“Tidak semudah membalik telapak tangan”, suatu ungkapan yang biasa dilontarkan petinggi negeri ini jika pembicaraan sudah menyerempet pada bagaimana cara mengimplementasikan wacana ini sehingga suatu langkah konkrit yang tepat dapat diwujudkan. Ketidakyakinan, pesimistis, dan ketidakpercayaan telah merasuk ke dalam sumsum tulang bangsa ini, sehingga mereka merasa bingung bagaimana langkah awal untuk mengimplementasikan usulan ini. Ironisnya, hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila hanya dikorelasikan dengan isu-isu radikalisme berbasis agama, seperti NII atau peledakan rumah ibadah, akan tetapi dalam kenyataannya ketika negara ini diterpa dengan isu-isu korupsi atau kebobrokan pemerintahan, semangat pembaharuan Pancasila seakan luntur tanpa bekas. Ironis memang, hal-hal yang secara struktural dapat menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan masyarakat telah berpindah dari semula sebagai extraordinary crime menjadi dapat ordinary crime atau dalam kata lain dapat “dimaklumi” oleh masyarakat.

Ruang sidang yang besar nan megah, yang ketika membahas tentang kesejahteraan rakyat hanya diisi oleh segelintir anggota dewan, akan tetapi ketika membahas tentang kenaikan gaji dan bermacam tunjangan barulah dipenuhi oleh peserta sidang. Ketika terjadi rapat menetapkan besarnya anggaran untuk kesejahteraan masyarakat, hujan interupsi pun terjadi. Bukan interupsi tentang besarnya anggaran program kesejahteraan tersebut, melainkan interupsi tentang banyaknya nominal yang bisa ditilep dari total anggaran tersebut. Hal tersebut sangatlah kontradiktif dengan sila kelima dari Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang seharusnya ditafsirkan untuk lebih memperhatikan rakyat miskin, konstituen mereka, bukan sebaliknya malah memperjuangkan kepentingan satu golongan.

Ruang peradilan yang seharusnya digunakan untuk memutus perkara dengan bijak dan sesuai hati nurani, akan tetapi kini berubah menjadi ruang transaksi mafia peradilan. Kasus-kasus hukum yang seharusnya diputus hukuman berat, malah diperringan seakan hal itu bukanlah suatu dosa besar. Tidakkah para penegak hukum itu mengingat pasal satu dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Mungkin mereka mengira bahwa Tuhan tidak mengetahui apa yang telah mereka putuskan dalam persidangan. Atau Tuhan telah mereka anggap buta, bisu, dan tuli sehingga mereka dengan seenaknya (atau seenak uang yang mengalir di dalam transaksi gelap mereka) memutuskan suatu perkara diluar akal sehat.

Suatu pengkhianatan terhadap pendahulu bangsa ini ketika asas-asas Pancasila sudah tidak diamalkan tetapi hanyalah menjadi penghias dari ruang rapat, tergantung dengan gagah di depan ruangan beserta dengan foto pimpinan negara, tanpa ada pengamalan terhadap kelima sila tersebut. Oleh sebab itu, tidak heran banyak terjadi kebuntuan dalam perumusan agenda pembaharuan semangat Pancasila didalam kehidupan berbangsa bernegara, karena pada pengamalannya pun Pancasila hanya dianggap sebagai simbol negara, hanya simbol saja.

Lantas, masih saktikah Pancasila di mata rakyat Indonesia? Hanya Tuhan yang tahu.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

SUMBER GAMBAR :
Monumen Pancasila Sakti – www.google.com
SUMBER :
(1)   http://nasional.kompas.com/read/2011/10/01/10044257/Kebersamaan.adalah.Makna.Kesaktian.Pancasila
(2)   http://www.menkokesra.go.id/content/presiden-jangan-lagi-memperdebatkan-pancasila



IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.