Follow Me on Twitter

Rabu, 16 Mei 2012

Lumpur Lapindo, Dulu dan Kini

"Makin dasyat dampak semburan, makin bersemangat pihak Lapindo Brantas , menyatakan bahwa semburan lumpur adalah akibat bencana alam. Maka solusinya adalah membiarkan semburan lumpur berhenti secara alami. (Lapindo: Tragedi Kemanusian dan Ekologi)"

Masih ingatkah kawan tentang kasus lumpur Lapindo? 29 mei 2006, lumpur menyembur di kawasan pengeboran PT Lapindo Brantas Inc, di daerah Porong, Sidoarjo. Lumpur panas yang mengandung bahan bahan berbahaya ini menggenangi kawasan pemukiman, perindustrian dan pertanian di tiga kecamatan di sekitarnya, dan secara kasat mata serta mempengaruhi perekonomian Jawa Timur. Hingga hari ini, sudah hampir 6 tahun berlalu. Apa sajakah perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat korban lumpur Lapindo? Dan bagaimanakah nasib lebih dari 70.000 KK korban Lapindo?
Jika kita telaah lebih dalam, permasaalahan lumpur Lapindo adalah permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan tidak selesai hanya dengan pemberian "santunan" saja. Permasalahan yang terjadi mencakup lingkup ekonomi, kesehatan, pendidikan, air bersih, dan masih banyak lagi.
Ketika kita bicara masalah bencana alam, kita juga berbicara tentang kondisi sosial dari korban bencana tersebut. Paling mudah dilihat adalah kondisi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal di wilayah tersebut. Lebih dari 70.000 KK menjadi korban dalam kasus luapan lumpur Lapindo. Namun hanya sekitar 12.000 KK yang mendapat ganti rugi. Sungguh suatu ironi ketika yang mendapat ganti rugi hanya sepersekian dari total korban.
Masalah kesehatan juga menjadi salah satu poin yang perlu diperhatikan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa laboratorium terkemuka, lumpur Lapindo ternyata mengandung bermacam kandungan berbahaya. Arsene, timbal, sianida bebas, dan zat-zat yang termasukg dalam Limbah Barang Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) banyak terkandung dalam lumpur dan melebihi batas ambang toleransi. Belum lagi gas liar yang menyembur di kawasan tersebut. Hal itu lantas berimplikasi pada kondisi kesehatan dari korban itu sendiri. Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di daerah Porong Sidoarjo hingga tahun 2008 mencapai 46.000 orang. Tidak terbayang berapa korban yang menderita ISPA hingga detik ini. Dan lagi lagi ketika korban masih tidak memiliki apa apa karena rumah dan harta berharga mereka yang terendam lumpur, mereka tidak bisa berobat ke rumah sakit. Efek domino memang, sebagai akibat dari "molornya" proses ganti rugi kepada korban.
Tidak lepas dari masalah kesehatan, krisis air bersih pun menghantui para korban lumpur. Sumur air bersih di daerah Porong (yang notabene berjarak hanya 2 km dari pusat semburan) kini mengalirkan air kotor berwarna kecoklatan. Air yang jelas tidak sehat untuk dipakai untuk kegiatan sehari-hari, apalagi ketika harus dipakai untuk diminum. Tidak heran kiranya ketika banyak korban lumpur yang terjangkit penyakit.
Menilik aspek selanjutnya yaitu aspek ekonomi. Seperti kita ketahui, lumpur Lapindo tidak hanya merusak pemukiman penduduk saja, melainkan juga menggenangi asset-aset infrastruktur utama seperti jalan tol, infrastruktur gas, listrik, dan PDAM. Sidoarjo tepatnya wilayah Porong adalah salah satu akses penting untuk keluar Surabaya. Akses inilah yang seing digunakan oleh kalangan industri sebagai poros distribusi produk mereka. Menurut hasil analisis yang dikemukakan bapak Kresnayana Yahya, seorang pengamat ekonomi dan dosen Statistika ITS, biaya terbuang setiap hari di wilayah Jawa Timur mencapai Rp 300 miliar. Ketidak efisiensi alur distribusi ini ditengarai sebagai factor utama besarnya biaya terbuang dari aspek ekonomi.
Lantas, bagaimanakah nasib saudara-saudara kita disana? Dikala "golongan yang seharusnya bertanggung jawab" malah saling "melempar tanggung jawab" dengan pihak lainnya. Beralasan bahwa kejadian ini adalah suatu bencana alam dan berusaha cuci tangan dari permasalahan ini. Yang beranggapan dengan memberi ganti rugi seadanya dan masalah langsung selesai. Kita hanya bisa berharap akan ketegasan pemerintah akan kasus ini. Jangan sampai korban Lapindo menangis karena kasus ini menjadi "terlupakan" akubat munculnya isu-isu lain. Semoga.

IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktur Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM ITS TRANSFORMATION