Follow Me on Twitter

Minggu, 19 Juni 2011

Kejujuran Sang Whistle Blower


KEJUJURAN. Sebuah kata yang mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk direalisasikan. Entah mengapa, kejujuran seakan menjadi barang langka di republik ini. 

Sebut saja sebuah kisah tentang “pencontekan massal Ujian Nasional” di SDN Gadel 2, Surabaya. 16 Mei lalu, Alif, seorang siswa kelas 6 SDN Gadel 2 Surabaya, melapor pada ibunya Siami tentang kejadian pencontekan massal di sekolahnya. Alif diminta oleh wali kelasnya untuk menjadi “sumber” contekan UN untuk teman-temannya. Pengakuan lugu anaknya membuat Siami shock. Bahkan, masih menurut Alif, sehari menjelang UN pun diadakan “simulasi” kecurangan massal tersebut. "Waktu H-1 diadakan simulasi mencontek," kata Alif saat telekonfrens dari Universitas Airlangga Surabaya dengan aktivis di Aula gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 16 Juni 2011.  "Nanti, kertas itu ditulis dengan kode-kode. Misalnya, angka 001 itu untuk jawaban A. Nanti, kode itu dilihatkan teman di belakang. Biar yang belakang tahu," lanjutnya lagi (1).

Yang jadi masalah adalah, setelah tereksposnya kasus ini, warga Gadel, yang notabene juga menyekolahkan anaknya di SD tersebut, beramai ramai “mendemo” rumah Siami. Mereka menuntut Siami agar meminta maaf pada SDN Gadel 2 karena menurutnya pernyataan Siami telah mencemarkan nama baik SDN Gadel 2. Menurutnya, peristiwa nyontek massal itu adalah suatu hal yang wajar. Mereka menilai Siami, dan keluarganya tak punya hati. Mencemarkan nama sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali warga menggelar demonstrasi di depan rumahnya. Bahkan warga pun mengusir Siami dari Gadel. "Usir, usir!," teriakan warga Gadel menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya (2).

Satu kisah lagi tentang dampak dari kejujuran seorang whistleblower. Wa Ode Nurhayati, seorang anggota Badan Anggaran DPR RI dari F-PAN, membuka kebobrokan dari Badan Anggaran DPR RI. Hal ini dipaparkan secara gamblang pada acara Mata Najwa episode 25 Mei 2011 di Metro TV (3). Menurutnya, ada 2 modus utama “penilepan” uang rakyat yang dilakukan oleh Badan Anggaran DPR RI. Selain melakukan mark up anggaran suatu proyek, modus lainnya adalah dengan mengurangi kualitas barang yang dibutuhkan dalam  proyek tersebut. Ketika ditanya oleh Najwa Shihab, presenter Mata Najwa tentang “Siapakah sebetulnya penjahat anggaran tersebut? Apakah anggota Badan Anggaran, pimpinan DPR, ataukah Menteri Keuangan?” dengan tegas Wa Ode menjawab “Semuanya!”

Sontak petinggi DPR pun bereaksi keras terhadap statement tersebut. Marzuki Ali sebagai ketua DPR RI tidak terima dengan statement tersebut. Bahkan, Marzuki pun melaporkan Wa Ode ke Badan Kehormatan DPR karena dianggap telah mencemarkan nama baik DPR secara umum, dan nama baik dirinya pribadi secara khusus sebagai pimpinan DPR RI. Marzuki menganggap tuduhan itu tidak berdasar dan tidak dilengkapi dengan bukti otentik (4). Selain itu, banyak SMS teror dan sindiran yang diterima oleh Wa Ode dan keluarga terkait dengan keberaniannya mengungkap permainan mafia anggaran di DPR. ”Nada tekanan banyak sekali, tidak hanya ditujukan kepada saya tapi juga keluarga” sebut Ibu satu anak tanpa menyebut tekanan yang dimaksud (5).

Pertanyaan saya sebagai orang awam, mengapa seorang yang sudah dengan berani membongkar “kebohongan terstruktur” tadi harus menjadi tumbal? Seperti nyonya Siami yang menjadi public enemy di kalangan tetangganya di Gadel, bahkan sampai diusir dari rumahnya, Wa Ode pun mengalami tekanan yang tidak kalah hebat. Ia bahkan sampai diadukan ke Badan Kehormatan DPR, bahkan ia dan keluarganya diteror melalui pesan singkat yang bertubi-tubi. 

Berkaca pada “kebohongan terstruktur” yang dicoba diterapkan di SDN Gadel 2, walaupun berhasil terungkap dan mendapat sorotan dari banyak pihak, hal ini bisa dikatakan sebagai penanaman nilai-nilai kebohongan sejak dini. Apa jadinya ketika generasi muda bangsa diajarkan, bahkan dididik oleh gurunya untuk “melanggar peraturan”? Tidaklah heran jika sekarang ditemukan anggota dewan yang terlatih untuk mengutip uang rakyat, dan anggota dewan yang melakukan hal tersebut tidak cuma satu dua orang tapi banyak sekali anggota dewan yang menyambi menjadi pencatut duit rakyat. Maka dari itu tidaklah salah kalau kita bisa menggeneralisir hal tersebut, dengan menjuluki DPR sebagai sarang “tikus” koruptor.

Hal lain yang saya sesalkan pada hal ini adalah cara penyelesaian kasus contek massal yang dilakukan oleh Mendiknas RI, setelah menyelidiki lebih dalam, beliau menyimpulkan bahwa tidak terjadi contek massal di SDN Gadel 2 Surabaya. "Kita sudah mendapatkan jawaban dari setiap anak di Gadel, akan ketahuan apakah polanya sama sehingga terjadi nyontek massal. Kalau satu kelas salahnya sama, benarnya sama, nilainya sama, kita curigai ada nyontek massal. Tetapi, setelah melihat pola jawaban Matematika dan pelajaran lainnya, tidak menunjukkan terjadi kesamaan sehingga kami menyimpulkan tidak terjadi nyontek massal," kata Nuh (6). Beliau bersikeras bahwa hal itu bisa dikatakan sebuah pencontekan massal apabila jawaban para peserta UN itu sama semua, dan pada kenyataannya adalah jawaban para peserta banyak yang berbeda. Mungkin beliau lupa bahwa persoalan sebenarnya bukanlah masalah “pencontekan massal” itu sendiri, tapi substansi utama dari permasalahan ini adalah merosotnya nilai kejujuran di Indonesia, bahkan pada generasi muda dari bangsa itu sendiri. Ketika beliau menyimpulkan berdasar hasil yang ditemukan, yakni pada tidak samanya jawaban para peserta UN, mungkin beliau menyimpulkan dengan logika yang sedikit keliru, bahkan kalau boleh sedikit ekstrem, itu bisa dikatakan logika koruptor. Saya ambil contoh ketika seorang koruptor mendapat sebuah proyek, katakanlah membuat sebuah gedung, dengan anggaran sebesar 5 miliar. Pada kenyataannya ia membangun gedung hanya dengan anggaran 4 miliar sedangkan 1 miliar sisanya ditilep sendiri. Kalau kita berorientasi pada hasil, tidak peduli berapapun anggarannya, yang penting hasilnya, dengan kata lain gedung itu, bisa terbangun. Padahal secara substansial disitu terjadi sebuah praktek korupsi. Inilah yang patut diteliti lebih lanjut, mengapa korupsi bisa tumbuh dan berkembang di negara kita tercinta? Apakah karena masyarakat terlalu berorientasi pada hasil, bukan pada proses? Ataukah karena gencarnya penanaman nilai-nilai kebohongan pada generasi muda sejak dini? Entahlah.

Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."




Sumber :




IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

 

Sabtu, 18 Juni 2011

HAPPY 2nd ANNIVERSARY

kami segenap administrator coretanaghe mengucapkan selamat ulang tahun kedua untuk D'09 (CSS MoRA ITS angkatan 2009). semoga seiring berjalannya waktu kebersamaan kita tidak akan luntur.


tertanda

administrator coretanaghe.blogspot.com