Follow Me on Twitter

Kamis, 29 Desember 2011

MENGUAK KORUPSI : KASUS CENTURY DAN MAFIA ANGGARAN


Melangkah pada penghujung tahun 2011, kita disodori dengan beberapa berita yang ironisnya justru tidak mengenakkan. Belum hilang gaung tragedi Freeport, Mesuji, dan Bima, kita dihadapkan kembali dengan hal lain yang tidak kalah menghebohkan. Seiring dengan laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang hasil audit forensik kasus century, skandal yang bermula pada akhir 2008 itu pun kembali mencuat. 

Bermula pada kegagalan kliring karena terganggunya likuiditas akibat penarikan dana secara berlebihan oleh nasabah, Bank Century mengajukan permintaan pendanaan jangka pendek ke Bank Indonesia sejumlah Rp 1 triliun, yang disetujui oleh Bank Indonesia sebesar Rp 600 miliar. Bank Indonesia pun mengumumkan bahwa Bank Century diambil alih oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS pun akhirnya melakukan empat kali penyuntikan modal kepada Bank Century dengan total sebesar Rp 6.7 triliun yang berlangsung selama 8 bulan hingga Juli 2009 (1). Permasalahannya adalah, pada internal Bank Century sendiri pun terjadi banyak transaksi illegal, diantaranya adalah penggelapan surat berharga US Treasury Strips Bank Century, pencairan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit, pencairan margin deposit transaksi Letter of Credit (L/C) yang dilakukan sebelum jatuh tempo, juga pemberian cashback pada pihak ketiga (2).

Namun, hal tersebut tidak berhenti hanya sampai disini. Temuan yang diperoleh oleh BPK menunjukkan bahwa aliran dana kasus Century mengalir ke rekening beberapa nasabah secara tidak wajar. Salah satunya adalah mengalir ke kas salah satu media yang memiliki afiliasi dalam pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres 2004 lalu. Temuan lainnya menunjukkan bahwa terjadi transaksi valuta asing fiktif yang melibatkan salah satu anggota DPR dari partai penguasa, dan juga merupakan kerabat dekat istana (3). 

Beralih ke kasus lain yang juga bersinggungan dengan kekuasaan, tidak sedikit pula terjadi suatu penyimpangan dalam pengalokasian anggaran. Praktik mafia anggaran tersebut telah dipaparkan secara gamblang oleh seorang anggota badan anggaran DPR RI pada salah satu acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta. Menurutnya, ada dua modus utama penilepan uang rakyat yang dilakukan oleh Badan Anggaran DPR RI. Selain melakukan mark up anggaran suatu proyek, modus lainnya adalah dengan mengurangi kualitas barang yang dibutuhkan dalam proyek tersebut. Ketika ditanya oleh presenter tentang “Siapakah sebetulnya penjahat anggaran tersebut? apakah anggota Badan Anggaran, pimpinan DPR, ataukah Menteri Keuangan?” dengan tegas dijawab “Semuanya!” (4)

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, pada kenyataannya praktik mafia anggaran tidak hanya terjadi di tingkat nasional, juga tidak hanya di tingkat lagislatif. Posko Pengaduan Mafia Anggaran melaporkan bahwa puluhan pejabat daerah dari seluruh Indonesia telah melaporkan terjadinya praktik mafia anggaran beserta buktinya. Ironisnya, pemotongan anggaran yang dilakukan tidak dalam nominal kecil, melainkan mencapai 40% dari total anggaran yang disediakan (5). 

Sementara itu, kenyataan yang terjadi adalah tuntutan biaya politik yang tinggi ditengarai akan semakin menggencarkan praktik mafia anggaran. ara elite politik akan dituntut untuk mengumpulkan uang panas selama menjabat, demi mengembalikan modal yang terpakai sebagai biaya pemenangan dirinya. Salah satu indikatornya adalah kewenangan badan anggaran DPR RI yang terlalu besar. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah dengan penekanan biaya politik yang dibutuhkan, dengan membatasi belanja kampanye dan memperbaiki sistem subsidi parpol.

Satu faktor yang dipertanyakan dalam hal ini, mampukah penegak hukum kita menegakkan hukum tanpa pandang bulu? Dalam penyelesaian kasus besar yang melibatkan kepentingan para elite politik, penegakan hukum terkesan seperti pisau tumpul yang tidak bisa memotong degnan benar keatas, tetapi hanya bisa memotong dengan tajam ke arah bawah, ke arah masyarakat kecil. Kita masyarakat kecil hanya bisa berharap terwujudnya penegakan hukum di Indonesia yang tidak pandang bulu. Penegakan hukum yang independen, tidak memiliki kepentingan politis apapun dan tidak membawa kepentingan politis pihak manapun. Semoga.




IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktorat Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM Transformasi ITS 2011/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar