7 Desember 2011, terjadi sebuah peristiwa menggemparkan di depan Istana Negara Republik Indonesia. Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa semester akhir Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta nekat mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya sendiri. Ironis memang, ketika seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengejutkan seperti ini.
Dikenal sebagai seorang Koordinator Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi), Sondang merupakan seorang yang kritis terhadap kehidupan sosial politik di Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang mahasiswa Fakultas Hukum, ia juga dikenal sebagai sosok yang kerap terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi pelanggaran HAM. Bukan tidak mungkin, ini adalah salah satu perjuangannya dalam mengkritisi kinerja pemerintah yang masih belum maksimal. Namun tetap saja, aksi heroik ini pun menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan.
Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri secara khusus berkomentar tentang kasus ini. Ia menyoroti terlalu besarnya pengorbanan yang harus dilakukan untuk sekedar mengingatkan para pemangku kekuasaan tentang besarnya penderitaan rakyat. "Merinding rasanya bulu kuduk saya sebagai seorang ibu melihat derita anak negeri ini," kata Megawati saat memberikan sambutan pada Rakernas I PDIP di Bandung, Senin. "Sondang telah pergi, tapi pesannya terasa keras menampar telinga kita. Kita tidak membutuhkan teguran keras lainnya, hanya untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini," katanya (1).
Namun, ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul memiliki pendapat berbeda. "Saya bangga pada Sondang Hutagalung. Namun rakyat tidak akan terpancing dengan isu seperti itu. Orang sudah mati diarak kemana-mana," ujar Ruhut, Minggu (18/12/2011) (2). Menurutnya, melakukan suatu aksi dengan tujuan mulia, tetapi dengan cara yang kurang sesuai, hasilnya pun tidak akan bagus.
Diantara pelbagai pro dan kontra menyikapi kejadian ini, ada pesan moral yang ingin Sondang tunjukkan kepada kita. Kulminasi dari kekecewaan dan keputus-asaannya terhadap kinerja pemerintahlah yang memicu terjadinya peristiwa ini. Memang, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang biasa untuk membuka mata, telinga, dan hati para pemangku kekuasaan. Ia sampai pada kesimpulan, satu-satunya pilihan yang diharapkan bisa menyadarkan para elite politik adalah dengan sebuah tragedi kematian yang dramatis. Terbersit sedikit harapan, bahwa aksi bakar diri sedikit banyak akan menimbulkan efek kejut yang bisa merubah kebobrokan bangsa. Meminjam pernyataan Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat, ”Politics, like religion, hold up the torches of martyrdom to the reformers of error”.
Publik tersentak. Ya, tersentak. Namun hanya sesaat. Bangsa ini memang rabun. Dalam kondisi yang serba abu-abu, Sondang bisa berperan menjadi siapa saja. Dengan efek kejut peristiwa ini, ia termasuk sebagai seorang martir perubahan. Ia bisa menjadi pejuang HAM karena peristiwa ini berdekatan dengan hari HAM Internasional. Ia juga termasuk pejuang anti korupsi. Bahkan ia bisa dikategorikan sebagai pejuang anti kekerasan. Permasalahannya adalah, efek kejut yang terjadi tidak cukup kuat untuk merubah kebobrokan yang sudah mengakar urat pada bangsa ini. Politisi tetap saja bersilat lidah. Koruptor tetap pada kebiasaannya menilep uang negara. Pejabat juga tetap pada rutinitas kesehariannya. Dan semua kembali menjadi biasa. Peristiwa ini hanya menjadi sedikit hiburan ditengah hiruk pikuk bangsa yang frustasi. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebab hati nurani bangsa ini sudah sakit parah.
Dalam bahasa kasar, pengorbanan yang dilakukan Sondang belum menyentuh substansi permasalahan itu sendiri. Perjuangan yang mulia, niatan yang tulus, hanya pengimplementasiannya yang salah kaprah. Ditinjau dari banyak aspek, mulai dari hukum positif, hukum adat, hukum sosial, serta hukum agama, bunuh diri itu merupakan hal yang tidak patut dilakukan. Kita tidak setuju dengan kebobrokan bangsa ini, namun penyikapannya haruslah dengan cara yang benar. Tanpa mengesampingkan pengorbanan yang telah ia lakukan, diharapkan kedepannya tidak ada lagi anak bangsa yang melakukan hal yang sama.
Saya sadari opini saya mungkin akan menimbulkan kontroversi. Tapi sebagai mahasiswa saya ingin mengimplemetasikan apa yang disebut sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa, terutama pada nilai Social Control. Lagipula, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh konstitusi negara kita, sebagaimana tercantum pada UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
SUMBER :
IQBAL AKHMAD GHUFRON
Civitas Akademika ITS, Mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar