KEBUN BINATANG SURABAYA. Ya, objek wisata ini merupakan salah
satu ikon kota Surabaya. Kebun binatang ini pernah menjadi kebun binatang
terbesar di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, koleksi satwa di kebun binatang
ini juga termasuk cukup lengkap. Lebih dari 300 spesies satwa dipelihara disini
dan jumlah satwa yang ada disana mencapai kurang lebih 4.300 ekor.
Sejarah KBS
Kebun Binatang Surabaya didirikan berdasar SK
Gubernur Jenderal Belanda pada 31 Agustus 1916, dengan nama “Soerabaiasche Planten-en Dierentuin”
(Kebun Botani dan Binatang Surabaya) dan berlokasi di Kaliondo, Surabaya. 29 September 1917 KBS berpindah ke jalan Groedo, dan pada tahun
1920 berpindah lagi ke jalan Darmo, dimana KBS berlokasi hingga sekarang dan
memiliki luas 30.500 m2.
Enam tahun setelah pembentukannya, tepatnya pada 21
Juli 1922, akibat dari tingginya biaya operasional, KBS megnalami krisis dan
akan dibubarkan, tapi rencana itu dicegah oleh pihak Kotamadya Surabaya. Dan pada tahun 1927 Walikota dan Anggota
Dewan mempersuasi Dewan Kota
Surabaya untuk memberi perhatian khusus terhadap KBS. Dengan SK DPR tanggal 3
Juli 1927 dibelikan tanah seluas 32.000 m2 untuk memperluas KBS, hingga pada
tahun 1939 sampai sekarang luas KBS menjadi 15 hektare. Dan sebagai pelengkap,
pada tahun 1940 dibuatlah taman KBS yang luasnya 85.000 m2.
Permasalahan di KBS
Secara kasat mata kita bisa melihat permasalahan
yang ada di KBS. Ya, banyaknya hewan yang mati di KBS itu adalah permasalahan
di KBS. Berdasarkan data yang dikeluarkan KBS, sepanjang Januari – September 2011, tercatat 245 ekor satwa
telah mati. Tentunya hal ini mengundang banyak keprihatinan. Awal Januari lalu, babi hutan “Celeng Goteng”
mati karena keracunan sianida. Awal Februari
juga terjadi kematian “Kliwon”, jerapah KBS
yang mati karena terlalu banyak memakan plastic. Ketika diotopsi, dari lambung Kliwon ditemukan 20 kg plastic yang tertelan, dan
diduga plastic sebanyak itu berada disana itu terakumulasi setelah
bertahun-tahun. Maret lalu juga seekor banteng KBS mengalami patah kaki hingga
mati. Banyak lagi kasus hewan-hewan yang mati karena berbagai alasan, mulai
dari kebersihan kandang yang kurang higienis, terlalu padatnya populasi satwa
tersebut, perebutan betina, penyakit, dan sebagainya. Sehingga The Telegraph, salah satu media massa
terkemuka di Inggris menjuluki KBS sebagai Indonesia’s
Nightmare Zoo karena terlalu banyaknya satwa yang mati di kebun binatang
tersebut.
Namun, dibalik semua itu ada permasalahan yang tidak
kalah pelik dibanding “sekedar” kematian satwa kebun binatang. Ya, permasalahan
itu adalah konflik internal yang mendera pengurus KBS sejak 2010. Sebelumnya,
sejak Indonesia merdeka dari jajahan Belanda sampai tahun 2010, hak
kepengurusan KBS dipegang oleh Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya
(PTFSS), kemudian setelah menteri kehutanan mengeluarkan BK Nomor
471/Menhut-IV/2010 pada tanggal 2010, kepengurusan KBS berpindah tangan menjadi
dikelola oleh Tim Pengelola Sementara (TPS). Semakin menambah pelik suasana,
awal maret lalu PTFSS melayangkan gugatan pada TPS dan Kemenhut terkait dengan pembekuan
wewenang pengelolaan KBS. Menurut PTFSS, SK Kemenhut itu cacat hukum dan
seharusnya wewenang mengelola KBS dikembalikan pada PTFSS. Menurutnya lagi,
akubat dari mismanajemen TPS itulah banyak diantara satwa KBS yang mati.
Dari hasil analisa sosial kami ke KBS dan hasil wawancara
dengan kalangan internal dari karyawan KBS sendiri, permasalahan disana adalah karena
KBS yang masih belum berbadan hukum. Dari awalnya KBS adalah dikelola oleh
sebuah perkumpulan TPFSS, dan setelah turunnya SK Kemenhut terjadi pengalihan
hak kepengelolaan KBS menjadi di tangan TPS. Kedua pihak ini masih belum
berbadan hukum, dan hal ini berimplikasi kepada kepengelolaan KBS itu sendiri.
Seharusnya adalah, proses pengurusan badan hukum untuk KBS itu bisa
diselesaikan selambat-lambatnya enam bulan setelah pemindahan kepengurusan ke
TPS, akan tetapi karena adanya ketidak sepahaman antara Kemenhut dan Pemkot Surabaya,
proses pengurusan itu menjadi terhambat hingga sekarang.
Salah satu implikasi tidak adanya badan hukum di KBS
adalah tidak bebasnya untuk melakukan “interaksi” kepada kebun binatang - kebun
binatang lainnya. Seperti kita ketahui bersama, antara kebun binatang itu
terjadi suatu sistemasi barter atau pemberian satwa konservasi. Dan dalam hal
ini, ketika KBS belum memiliki badan hukumnya tersendiri, sistemasi barter dan
interaksi lainnya itu akan sulit untuk dilakukan.
Implikasi lainnya yang terjadi adalah tidak adanya
kucuran anggaran dari Pemerintah / Pemkot untuk KBS. Sejauh ini, biaya
operasional KBS itu murni dari tiket masuk dan tambahan pemasukan dari
sponsor-sponsor, tanpa ada kucuran dana dari Pemerintah. Justru KBS sendiri
yang memberikan pemasukan berupa pajak hiburan masyarakat ke Pemkot Surabaya.
Masih menurut sumber internal dari karyawan KBS, salah satu kelemahan dari KBS
adalah anggaran yang dimiliki masih kurang. Hal itu berimbas pada padatnya
populasi hewan konservasi di KBS yang tidak berimbang dengan luasnya kandang.
Tidak diherankan banyak terjadi overload dari hewan konservasi dan berakibat
pada kematian satwa.
Harapan untuk KBS
Kita banya bisa berharap, agar KBS bisa kembali
menunjukkan jati dirinya sebagai tempat rekreasi-edukasional yang terkemuka di Surabaya.
Selain sebagai paru-paru kota Surabaya, KBS juga membantu pelestarian satwa
yang dilindungi. Ketika KBS sudah memiliki badan hukum, diharapkan hal itu akan
memberikan kesejahteraan bagi satwa konservasi dan segenap stakeholder dari KBS
itu sendiri.
IQBAL AKHMAD
GHUFRON
Direktur Jenderal
Pewacanaan
Kementerian Sosial
Politik
BEM ITS
TRANSFORMATION