1 januari 2013, pemerintah berencana
menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Bagi pelanggan diatas 1300 kWh akan
dibebankan kenaikan TDL sebesar 15%, sementara untuk pelanggan 450 dan 900 kWh
tidak akan dibebankan kenaikan TDL. Bukan kominal besarnya kenaikan TDL yang
menjadi masalah, namun rangkaian
efek domino yang dihasilkan seiring dengan
naiknya TDL tersebut.
Apa alasan kenaikan TDL tersebut?
Mengenai alasan kenaikan TDL
tersebut, ini berkaitan dengan inefisiensi PLN. Pada tahun 2009-2010 PLN
mengalami kerugian sebesar 37.6 triliun, masing-masing 17.6 triliun pada 2009
dan 19.7 triliun pada 2010. Maka diwacanakan adanya kenaikan TDL sebesar 15%
tersebut agar bisa menutupi kerugian akibat inefisiensi tersebut.
Dan mengapa
inefisiensi ini bisa terjadi?
Menurut hasil pemeriksaan BPK RI
nomor 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 ditemukan fakta bahwa terjadi inefisiensi
pada 8 pembangkit listrik di indonesia. Suplai gas pada delapan pembangkit
listrik tersebut yang berbasis dual firing tersebut tidak terpenuhi. Kawan,
pembangkit listrik dual firing bisa beroperasi menggunakan bahan bakar minyak
(solar) dan gas. Namun, kenyataannya adalah delapan pembangkit tersebut
dioperasikan menggunakan solar yang jauh lebih mahal biayanya. Ketika
pembangkit listrik tersebut dioperasikan menggunakan solar, pada tahun 2009
biaya aktualnya adalah 25.5 triliun, dibandingkan estimasi jika menggunakan gas
yang hanya sebesar 7.66 triliun. Juga pada tahun 2010 yang biaya aktual
penggunaan solar nya sebesar 25.5 triliun, dibandingkan dengan jika menggunakan
gas yang hanya 7.66 triliun. Praktis total kerugian akibat inefisiensi PLN
adalah 37.6 triliun. (1)
Lantas apa alasan pemakaian solar
pada pembangkit tersebut?
Faktor kunci pada penentuan TDL adalah
biaya produksi yang dibutuhkan. Dan dalam hal ini adalah ketersediaan suplai
dari bahan bakar pembangkit listrik. Kenyataannya adalah, pembangkit listrik
tersebut menggunakan solar untuk operasionalnya karena kurangnya suplai gas
untuk pembangkit listrik. Padahal gas adalah sumber energi yang relatif murah
(dibanding minyak) dan cukup melimpah di indonesia. Indonesia memiliki cadangan
gas alam terbukti sebanyak 1.6% dari cadangan gas alam dunia. Namun mengapa
masih ada kekurangan gas untuk produksi listrik?
Kawan, ternyata pada produksi kilang
gas Tangguh, Papua yang mampu memproduksi hingga 135.5 ribu barrel per hari,
seluruhnya dialokasikan untuk diekspor ke luar negeri dengan harga murah.
Menurut pernyataan Jero Wacik, menteri ESDM, 50% dari produksi gas tangguh
diekspor ke Fujian, Cina, sementara 50% lainnya diekspor ke AS. Dan gas
tersebut dijual dengan harga murah, yakni US$ 3.35 per MMBTU (million british
thermal unit), sementara harga jual di dalam negeri sendiri mencapai US$ 6-10
per MMBTU. Dan kontrak tersebut berdurasi hingga 2029 mendatang. (2)
Sementara, menurut statistik gas
bumi yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM RI, alokasi gas nasional untuk
produksi listrik hanyalah 8.6% dari total produksi nasional. Sangat timpang
jika dibandingkan dengan alokasi gas yang diekspor ke luar negeri yang mencapai
53%. Sungguh mengecewakan jika kita banyak mengekspor gas ke luar negeri, namun
di dalam negeri masih terjadi inefisiensi produksi listrik yang menggunakan
bahan bakar gas, apalagi jika inefisiensi tersebut merugikan negara hingga 37
triliun.
Dan apakah sisi positif dari kenaikan TDL
tersebut?
Pada APBN-P 2012, pemerintah
mengalokasikan anggaran subsidi energi kelistrikan sebesar 64.9 triliun,
sementara menurut wakil menteri keuangan Mahendra Siregar akan melebihi 100
triliun. (3) Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa negara akan menanggung
kerugian dari subsidi sebesar 35 triliun.
Hal ini
juga diperkuat oleh pasal 8 ayat 10 UU APBN
“Belanja subsidi dapat disesuaikan dengan
kebutuhan aggaran dengan mengantisipasi perubahan parameter subsidi”
Dan pada ayat 2 menyatakan bahwa subsidi kelistrikan 2013 sebesar 80 triliun.
Dengan adanya kenaikan TDL tersebut,
maka pemerintah akan menghemat anggaran sebesar 14.87 triliun. Dan dengan itu,
dana subsidi yang besar diharapkan dapat dialihkan ke alokasi lain, seperti
pembangunan infrastruktur dan sebagainya, yang dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Dan, apakah sisi negatif dari kenaikan TDL?
Kawan, ketika kita bertanya, apa sih
peran negara dalam kasus TDL ini, kita bisa berkaca pada konstitusi kita, UUD
1945. Pasal 33 ayat 3 dan 4 UUD 1945 mencantumkan sebagaimana berikut :
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dan juga pada UU no 30/2009 tentang
ketenagalistrikan, pasal 2 juga mengatur hal tersebut :
(1) Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas:
d. optimalisasi
ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi;
(2) Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan
untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas
yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
Idealnya, kawan, ketika kita membicarakan
tentang potensi SDA dalam negeri, harus dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga
menguntungkan bangsa sendiri. Apalagi jika sumber daya tersebut merupakan
sumber daya strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak, idealnya adalah
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, kawan, kenyataannya malah sumber daya strategis tersebut diekspor ke
luar negeri, dengan harga murah pula. Sungguh ironis. Walaupun atas nama profit
atau demi men-stabilkan neraca ekspor impor, namun menjual sumber daya
strategis ke luar negeri dalam volume besar itu tidak bisa dibenarkan. Karena
energi sudah tidak lagi menjadi komoditas biasa saja, namun telah menjadi
barang strategis. Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintahlah untuk
menjaga kedaulatan energi kita.
Selain itu, kita berbicara tentang
efek domino dari kenaikan TDL ini. menurut data dari kamar dagang dan industri
(KADIN), kenaikan TDL 15% dapat memicu terjadinya inflasi sebesar 6%, hampir
sama seperti isu kenaikan BBM lalu yang dapat mengakibatkan inflasi sebesar 7%.
Dan dengan inflasi sebesar itu, harga barang kebutuhan akan naik sebesar 6%,
dan itu berimplikasi pada menurunnya daya beli masyarakat sebesar 6%. Ketika
daya beli masyarakat menurun, sektor industri akan menurunkan tingkat
produksinya, untuk mencegah terjadinya kelebihan pasokan di pasaran. Penurunan
tingkat produksi mengakibatkan industri akan “merumahkan” karyawannya (baca :
PHK) dan itu akan berimplikasi pada banyak hal lainnya, seperti kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, kesehatan, dan sebagainya.
Kawan, kita tahu bersama, bahwa
terjadi defisit anggaran karena subsidi membengkak. Namun, tidak serta-merta
dapat diatasi dengan menaikkan TDL. Dengan kenaikan TDL sebesar 15%, pemerintah
dapat menghemat anggaran sebesar 14.89 triliun. Sementara itu, defisit anggaran
kita karena menggembungnya subsidi kelistrikan saja mencapai 35 triliun, belum
lagi kerugian-kerugian lainnya. Selain itu, walaupun kita mencanangkan akan
adanya energi baru terbarukan (EBT) pun tidak akan cukup waktunya untuk
diaplikasikan pada awal tahun mendatang. Karena, kawan, regulasi tidak akan
bisa berjalan tanpa adanya infrastruktur. Menaikkan TDL bukanlah tindakan bijak
ketika infrastruktur, dalam hal ini, pembangkit listrik berbasis EBT belum ada.
Dan pemerintah sebagai pemimpin dari
rakyat harus mengayomi, dalam hal ini membuat kebijakan yang pro rakyat.
Diantara banyak kebijakan di bidang energi yang tidak pro rakyat, terutama di
bidang industri hulu-nya, pemerintah harus turut campur untuk mengubah
kebijakan tersebut agar lebih menjangkau dan lebih membela rakyat kecil.
)
http://www.tempo.co/read/news/2012/11/06/090440101/Harga-Ekspor-Gas-ke-Cina-Akan-Ditinjau-Ulang
IQBAL AKHMAD GHUFRON
Direktur Jenderal Pewacanaan
Kementerian Sosial Politik
BEM ITS TRANSFORMATION
Tidak ada komentar:
Posting Komentar